Buku Menggali Berlian di Kebun Sendiri karya Bambang Suharno diluncurkan di acara Grand City Convex Surabaya, di tengah acara pameran internasional Indolivestock Expo.
Jika sukses harus diraih dengan kerja keras banting tulang siang malam, itu namanya sukses dengan mesin manual. Anda perlu belajar meraih sukses dengan mekanisme sukses otomatis (Suksesmatic.com).
Pada masa menjelang Pemilu banyak grup Whatsapp (WA) yang berubah menjadi grup perdebatan politik. Beberapa grup yang awalnya terbentuk untuk menyambung silaturahmi, berubah menjadi pemutus silaturahmi, gara-gara perbedaan pandangan politik. Ada yang diam-diam keluar dari grup karena merasa nggak nyaman, ada juga yang terang-terangan berbeda pendapat lalu keluar karena menrasa tidak nyaman. Lantas grup didominasi oleh kelompok yang satu pandangan politik saja. Itu terjadi 5 dan 10 tahun lalu. Apakah ini akan terulang?
Berikut ini fakta yang layak kita renungkan:
Seorang pakar pernah menyatakan bahwa pada umumnya manusia mencari informasi berdasarkan
pandangan politik yang sudah diyakininya, bukan mencari info untuk menentukan pandangan politik. Ini artinya, masyarakat kita umumnya punya pilihan politik (presiden) terlebih dulu baru googling untuk memperkuat pendapatnya. Bukan googling untuk menentukan pilihan politik.
Berdasarkan analisa di atas, saya jadi lebih mengerti kenapa pandangan politik seseorang menjadi sedemikian kuat seiring waktu mereka rajin mencari info di internet. Situasi ini sangat berbeda dengan era sebelum tahun 2000. Anda tahu , mesin google menyediakan semua
informasi sesuai kebiasaan pengguna. Jika anda hari ini mencari sepatu, besok anda
buka youtube, google, fb, marketplace dll, akan muncul penawaran berbagai macam sepatu . Demikian pula orang
yang sudah punya pandangan memilih satu Capres, maka otomatis akan ketemu dengan info positif tentang Capres pilihannya
dan dengan mudah menemuka info negatif tentang Capres yg bukan pilihannya. Google "menyediakan" info positif negatif masing-masing Capres.
Upaya berdebat untuk mempengaruhi orang yang sudah punya
pandangan politik tertentu, nyaris sia-sia karena pada umumnya orang tidak mau
disalahkan, apalagi dipojokkan dengan bermacam label yang secara normatif terdengar tidak sopan. Lagi pula semua orang sudah punya argumen untuk mempertahankan pandangan politiknya. Seandainya belum punya, dengan mudah bisa dicari di internet. Mau soal utang luar negeri, pembangunan infrastruktur, pemindahan ibu kota dll semuanya ada argumen pro kontranya. Jadi apa manfaatnya berdebat di ruang yang sebenarnya ditujukan untuk mempererat tali persaudaraan? Lebih bijak mempengaruhi orang lain yang jauh
dari hiruk pikuk internet, bukan di grup keluarga atau alumni.
Setiap orang punya tipe berpikir dan berperasaan yang berbeda-beda,
ada tipe struktural, analitis, sosial, konseptual (tipe berpikir berdasarkan ilmu psikometric Emergenetics). Ungkapan kata “kalau nggak cocok delete saja” atau “mari
berpikir secara logis” adalah ungkapan orang bertipe struktural yang tidak bisa
diterima oleh tipe berpikir sosial.
Berkampanye dengan menjelekkan Capres lain, tidak cocok untuk
masyarakat Indonesia khususnya yang pola pikirnya bertipe sosial . Cara ini sulit berfungsi menambah suara, tapi lebih
berperan untuk memuaskan nafsu politik saja . Hmm, inilah kenapa dalam satu grup, jika satu orang melempar info negatif tentang satu pihak, bisa disambut suka cita oleh teman yang satu pandangan dengan memperkuat argumen logis dan "ilmiah"
Secara umum manusia memilih Capres bukan menggunakan logika, tapi melalui persepsi yang diterima otak/hati. Sama halnya Anda membeli kopi yang mahal , itu bukan pakai logika. (Anda yang orang marketing pasti paham)
Uniknya, fakta yang saya temui di kalangan praktisi politik jauh berbeda dengan obrolan di grup Whatsapp. Tokoh politik yang di publik seperti bermusuhan, faktanya hubungan mereka biasa-biasa saja. Mungkin Konsultan politik atau tim media yang mengharuskan mereka agar terkesan berseberangan demi kepentingan persaingan merebut suara. Di atas mereka bersaing biasa sebagaimana pertandingan olah raga, di bawah seperti sebuah peperangan. Jadi tidak usah heran , politisi yang lima tahun lalu seperti bermusuhan, tahun ini berkawan akrab, Pun demikian, yang sekarang sedang berseberangan, tak usah kaget kalau nantinya bergabung dalam satu kelompok.
Sekarang coba bayangkan, jika Pilpres tahun 2024 berlangsung 2 putaran, maka satu Capres akan berkoalisi dengan Capres lain yang tadinya berseberangan. Orang di grup WA yang tadinya menjelek-jelekan Capres A, perlu "menyesuaikan diri" karena Capres tersebut mungkin bergabung dalam satu koalisi di putaran kedua.
Sebagai penutup, saya sampaikan ungkapan dari Ridwan Kamil (harap dikoreksi jika keliru). Katanya, ada 3 kelompok orang yang sangat sulit diberi nasehat. Pertama orang yang sedang mabok minuman, kedua, orang yang sedang mabok cinta. Ketiga, orang yang sudah punya pilihan Capres (kategori mabok juga kali ya hehehe)
Satu langkah kecil dari seorang manusia (pemimpin), dapat menjadi satu lompatan
besar bagi kemanusiaan (NeilAmstrong1930–2012)
Siang itu sepulang dari kantor, pak Rusdi tiba-tiba
berhenti di depan rumahku dan bercakap-cakap dengan bapakku yang sedang menyapu
halaman di depan rumah. Demikian Ayo Sugiryo alias Suryo, seorang guru SMA
Internasional di Purwokerto , memulai tulisannya yang berjudul “Sang Guru
Penyelamat” dalam sebuah buku “Mimpi-mimpi
Kecil dan Seribu Kemarau”
Berikut saya kutip sebagian kisahnya .
Sebagai anak kampung kelas VI SD, melihat seorang kepala
sekolah mampir ke rumah, aku lari ketakutan hingga menyelinap di kamar ruang
depan sambil berusaha menguping percakapan dua orang dewasa itu. Antara Bapak
dan Pak Rusdi, kepala sekolah SD. Ada apa Pak Rusdi tiba-tiba mampir ke
rumahku? Saat itu saya kelas 6 SD di sekolah yang dipimpin Pak Rusdi.
“Beneran lho kang.
Jangan sampai Suryo tidak lanjut SMP. Kasihan anak lanang satu-satunya.
Pinter lagi sekolahnya.” Pak Rusdi tiba-tiba menasehati bapak. Bapak kelihatan
semakin tidak mengerti maksud Pak Rusdi. Untuk apa dia merayu-rayu anaknya
untuk lanjut sekolah?
“Nuwunsewu (mohon
maaf-red) Pak Kepala. Biaya dari mana untuk si Suryo sekolah SMP? SMP itu kan
biayanya secikrak (satu keranjang sampah-red). Mau jual apa saya Pak?” Jawab Bapak jujur. Saat itu, jenjang sekolah tingkat SMP sudah luar biasa di desaku
dan luar biasa mahalnya menurut ukuran orang tuaku dan orang tua teman-temanku
yang sebagian besar penghasilannya dari usaha tani yang lahannya tidak seberapa luas.
Dari balik dinding bambu kamar, aku memejam-mejamkan
mata dan melebar-lebarkan daun telinga untuk dapat konsentrasi penuh dengan
percakapan mereka. Hatiku berdebar-debar mendengarkan percakapan mereka yang
menggosip tentang diriku. Sungguh saya sangat terharu, rupanya Pak Rusdi
sebegitu perhatian terhadapku. Sampai-sampai menginginkanku harus lanjut ke
SMP. Dalam benakku, apakah semua bapak teman-temanku juga didatangi dan
ditanyai seperti itu? Ah, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah bahwa Pak
Rusdi benar-benar baik dan dia sedang memperjuangkan masa depanku. Ya Allah!
Terimakasih engkau telah mengirimkan malaikat terbaik untukku!
“Kang Maryo apa tidak kasihan sama Suryo. Suryo itu
anaknya rajin. Di sekolah kerjaannya baca buku di perpustakaan. Dia itu nggak
pernah ke warung depan sekolahan pas istirahat. Apa kang Maryo ndak tahu kalausi Suryo itu seneng belajar ? Seneng baca
buku?” begitu pak Rusdi terus merayu dengan menyampaikan fakta-fakta tentangku.
Aku pun bingung. Dari mana Pak Rusdi sebagai Kepala
Sekolah tahu kalau aku suka membaca dan belajar? Dari mana Pak Rusdi tahu kalau
aku ingin sekolah terus? Aku tak habis pikir mengapa pak Rusdi yang sangat
memahami aku dan mengerti keinginanku. Ah, bagiku Pak Rusdi itu seorang guru
yang hebat yang menginginkan anak didiknya tak berhenti hingga sekolah dasar.
Dia bagaikan sang penyelamat bumi masa depanku yang hampir kiamat.
Bapakku tampak manggut-manggut, mungkin otaknya sedang
berfikir keras terkena hasutan malaikat pencatat kebaikan. Antara bisa dan
tidak untuk melanjutkan anak lelaki satu-satunya ke jenjang pendidikan SMP.
Waktu itu anak-anak desa Tlaga, Kecamatan Gumelar (berjarak 40 km dari Kota
Purwokerto Jawa Tengah) yang sekolah SMP
hanya berkisar anaknya pegawai tingkat desa seperti anak mantri puskesmas, anak
guru, anak mandor perhutani, dan anak lurah. Untuk anak petani biasa seperti
aku, lulus SD harus siap dengan segala konsekuensi masyarakat kalangan bawah.
Hanya ada dua pilihan; tetap tinggal di desa dan siap membantu orang tua
bertani atau pergi merantau ke Ibukota.
Dan sekarang aku akhirnya benar-benar bertengger di atas
bukit impianku, melanjutkan sekolah di SMP. Terima kasih Bapak, terimakasih Pak
Rusdi!
***
Silaturahmi dengan keluarga di Purbalingga
Saya ikut terharu membaca kisah hidup Suryo . Gara-gara
perhatian seorang Pak Rusdi, orang tuanya berjuang keras mencari nafkah untuk
menyekolahkan Suryo hingga SMP. Bahkan kemudian dengan berbagai upaya, ia mampu
melanjutkan hingga pendidikan tinggi. Ia
menceritakan sebuah ketulusan dan kejujuran seorang guru yang berdampak sangat
besar bagi muridnya. Seorang Rusdi baginya bukan sekedar guru namun pembuka
jalan masa depan yang semula gelap.
Berkumpul keluarga besar di kala lebaran (2015)
Mungkin bagi Pak Rusdi, pekerjaan bernegosiasi dengan orang
tua murid hanyalah langkah kecil saja. Karena dalam jiwanya sudah tertanam
untuk mengabdi sebagai pendidik secara total, bukan sekedar mengajar di kelas.
Jika ada anak membolos beberapa hari saja, tak segan-segan ia datangi rumahnya untuk
mencari informasi penyebab nya. Dan sebaliknya jika ada anak yang pintar, ia
berjuang agar orang tuanya berjuang untuk menyekolahkan anaknya.
Apa yang dilakukan Rusdi adalah tindakan seorang pemimpin,
yang melihat dimana ada benih potensial untuk masa depan. Ia juga berperan sebagai
motivator untuk para orang tua agar memperjuangkan anaknya untuk bisa mengenyam
pendidikan setinggi mungkin. Maklum, ia mendapat tugas di daerah terpencil
dimana para petani pada umumnya tidak berhasrat menyekolahkan anaknya, yang
penting bisa baca tulis saja.
Kehadiran Rusdi yang disebut sebagai sang guru
penyelamat telah membuat nasib seorang suryo yang semula hampir senasib dengan
teman seusianya menjadi petani atau buruh tani, berubah seketika menjadi siswa
SMP dan kemudian bisa melanjutkan hingga sarjana.
Ketika terdengar kabar bahwa Bapak Rusdi meninggal dunia
tanggal 21 Januari 2019, Suryo memposting copy buku dan mengucapkan, terima
kasih yang tak terhingga dan Selamat Jalan untuk Pak Rusdi. “Saya kehilangan
sosok seorang pendidik seperti Pak Rusdi, Sang Guru Penyelamat” kata Suryo.
Rusdi Hadiyuwono kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, 18
September1938. Lulus dari Sekolah Guru Atas
(SGA) di Purwokerto, ia mendapat tugas ke pelosok desa terpencil tahun 1956. Di
saat itu di Gumelar sedang berkecamuk perang melawan DI/TII. Konon saat pamit
mengemban tugas, orang tuanya menangis agar jangan berangkat. Namun Rusdi muda
tetap berangkat menjalankan tugas negara merintis sekolah dasar mulai dengan pinjam
rumah penduduk sebagai kelas, hingga pemerintah membangunkan bangunan SD yang
terbuat dari kayu dan bambu.
Penghayatannya sebagai guru di desa terpencil merupakan
bagian terbesar dari perjalanan pengabdiannya . Ia selalu hafal dengan
murid-muridnya bahkan dengan para orang tua muridnya.
Dan saya pun sangat terharu membaca tulisan yang
diposting di facebook oleh Ayo Sugiryo (Suryo), karena yang ditulis itu adalah
ayah saya sendiri yang berpulang 21 Januari 2019 lalu. Ia hanya seorang Guru SD, bukan tokoh
nasional, namun ternyata apa yang dilakukan ayah saya begitu dikenang oleh
muridnya hingga namanya diabadikan dalam sebuah buku.
Betul kata mutiara kehidupan dari Neil Amstrong, Satu langkah kecil dari seorang manusia
(pemimpin), dapat menjadi satu lompatan besar bagi kemanusiaan
Selamat Jalan Ayah.
Kami sangat bangga dan bersyukur menjadi anakmu.
Engkau telah tiada, tapi keteladanmu tetap hidup.
Semoga pengabdianmu tak sia-sia di hadapan Allah SWT.
Amien Ya Robbal Alamin.***
Tulisan ini saya
susun untuk mengenang Ayah Kami Tercinta H. Rusdi Hadiyuwono (1938-2019) dan sebagai ucapan terima kasih kepada pak Sugiryo penulis buku "Mimpi-mimpi Kecil dan Seribu Kemarau" serta terima kasih kepada para guru dimanapun berada yang telah mengabdi dengan tulus ikhlas .
Kami juga mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada Saudara, sahabat, tetangga, handai taulan yang telah memberikan bantuan dan perhatian begitu besar serta doa yang tulus. Antara lain kepada : 1. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Bapak Dr. Drh. I. Ketut Diarmota MP, beserta jajaarannya 2. Pengurus Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) 3. Keluarga besar PT Medion 4. Komisaris, Direksi dan Karyawan PT Gallus Indonesia Utama 5. Bapak Roni Fadillah ketua Keluarga Alumni Fakultas Peternakan (Kafapet Unsoed) Jabodetabek dkk 6. Bapak Bambang Rijanto Japutra (BRJ) Ketua Kafapet Pusat dan tim. 7. Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar Indonesia ) 8. Forum Media Peternakan (Format) 9. Sahabat yang hadir sebagai pribadi maupun mewakili organisasi antara lain Pak Bambang Basuki Catur, Pak Dwi Suranto, Pak Kuntoro , Pak Sugeng Arief , Pak Isro Suhadi (Kafapet angkatan 85), Bu Tarti, Pak Agus Ponco Sugiono (alumni SMA 1 Purwokerto), Pak Lukman dkk (alumni SMP 1 Ajibarang), , Bambang Rijanto Japutra (BRJ) dan Arief Aceh (Kafapet Pusat), Kohar dan Rizky Yunandi (PT Gallus) dan lain-lain yang tidak bisa saya sebut satu per satu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang terbaik. Amien YRA.