MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

Sikapmu Menentukan Kesuksesanmu

Teruslah belajar, bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan teknis, tapi agar bisa memiliki sikap yang lebih baik.

Jalan-jalan di kota Teknologi Shenzen, China

Perjalanan ke kota Teknologi Shenzen, China, 1 Mei 2019 dalam rangka Shenzen International Pet Fair.

Launching buku Menggali Berlian di Surabaya

Buku Menggali Berlian di Kebun Sendiri karya Bambang Suharno diluncurkan di acara Grand City Convex Surabaya, di tengah acara pameran internasional Indolivestock Expo.

Meraih sukses

Jika sukses harus diraih dengan kerja keras banting tulang siang malam, itu namanya sukses dengan mesin manual. Anda perlu belajar meraih sukses dengan mekanisme sukses otomatis (Suksesmatic.com).

Pengalaman Naik Kereta TGV di Perancis

Perjalanan ke Rennes Perancis dalam rangka menghadiri pameran internasional, naik kereta TGV dari Paris ke Rennes.

Diskusi MEA dari Kampus ke Kampus

Berlakunya MEA, Masyarakat Ekomomi ASEAN, apakah sebuah mimpi buruk? Sejauh mana kesiapan kita? Bagaimana cara terbaik kita untuk menyikapi perubahan besar ini?

Dalam beberapa bulan terakhir ini, diskusi MEA tiada habisnya. Bermacam organisasi pemerintah maupun swasta melakukan pembahasan baik diskusi terbatas maupun seminar besar. Demikian pula berbagai kampus menyelenggarakan talkshow dan seminar membahas apa itu MEA dan bagaimana menyikapinya.

Sabtu 28 Maret 2015, saya diundang sebagai narasumber talkshow di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dengan tema Peran Pemuda dalam Mengembangkan UKM Peternakan di Era MEA. Acara yang berlangsung di Gedung Roedhiro ini menampilkan  Sekretaris Ditjen Peternakan Dr. Riwantoro, Pakar Ekonomi Dr. Istiqomah, Pebisnis peternakan Unggas Bambang Rijanto dan saya. Lebih dari 200 orang hadir terdiri dari mahasiswa dosen, peternak, guru dan siswa SMK Peternakan. Acara dipandu oleh Dr. Juni Sumarmono, dosen Fakultas Peternakan Unsoed.

Seminggu kemudian, Sabtu 4 April 2015, saya sebagai pembicara seminar di Fakultas Teknik Industri UII Jogja. Saya tampil bersama owner Klinik Kopi Firmansyah. Lebih dari 100 mahasiswa hadir dalam seminar ini. Di kedua forum ini, perbincangan utamanya adalah seputar bagaimana menyiapkan diri di Era MEA yang persaingannya diperkirakan semakin kompetetif. Bedanya, di Unsoed, bentuk acaranya talkshow dan fokusnya ke arah usaha peternakan.

Beberapa bulan sebelumnya, beberapa lembaga mengundang saya untuk membahas topik yang sama, antara lain STIE Bhakti Pembangunan Jakarta Selatan, Gereja Kristen Gunung Sahari Jakarta, dan lain lain.

Dari berbagai forum ini, saya melihat bahwa publik lebih banyak bersikap pesimis dari pada optimis. Apalagi jika dalah forum itu ada pejabat dan pakar. Mereka biasanya mengeluarkan data yang menyedihkan, peringkat SDM Indonesia yang berada di bawah Singapura, Thailand dan Malaysia.

Dengan data seperti ini, publik secara tidak sengaja diajak untuk memaklumi kalau nanti kita hanya sebagai penonton di era MEA ini. Padahal, MEA bukan hanya soal peringkat SDM. Mari kita telaah.

Persaingan antar pemerintah

Sebenarnya persaingan di era MEA lebih banyak persaingan antar pemerintah. Masyarakat hanya mengikuti apa yang terjadi saja, karena prinsipnya masyarakat yang akan meihat peluangnya dimana, jika ada peluang bagus untuk ekspor, akan berusaha ekspor. Sebaliknya jika peluangnya impor, masyarakat akan tergiur untuk impor. Hanya sedikit pengusaha yang "membela" tanah air dengan hanya mengkonsumsi produk dalam negeri dan tidak mau produk impor.

Di kalangan peternak ayam ras (ayam negeri), kita melihat mereka bisa memelihara ayam dengan produktivitas yang sama dengan peternak lain Thailand dan Malaysia. Yang membedakan adalah, harga bahan baku pakan mahal sehingga biaya pakan mahal. Harga di kandang murah tapi sampai di konsumsi selisihnya tinggi, akibat rantai tata niaga yag panjang dan biaya transport tinggi. Nah urusan bahan baku mahal, sistem tata niaga panjang, biaya transport tinggi, itu adalah urusan pemeritah.

Jika mau bersaing dengan hasil gemilang, caranya tidak lain adalah pemerintah mengatur tata niaga ayam (pertanian), membuat sistem logistik yang baik sehingga biaya transport dan pengiriman barang lebih efisien. Belum lagi soal pungutan resmi dan tidak resmi antar propinsi, antar kabupaten maupun antar pulai. Itu semua sumber pemborosan yang mengakibatkan daya saing rendah. Dan itu semua bukan urusan peternak, melainkan pemerintah.

Jangan Salahkan Masyarakat

Jadi jangan salahkan masyarakat, karena masyarakat Indonesia pada umumnya pekerja keras. Bukan pemalas sebagaimana anggapan kita selama ini. Masyarakat kita juga bisa diajak disiplin jika diperlakukan dengan disiplin yang baik.

Ingat, beberapa tahun lalu masyarakat tidak bisa diatur, suka naik kereta di atap atau di sambungan antar gerbong. Sekarang mereka mau disiplin, tidak ada yang bergelantungan di atap dan di rangkaian antar gerbong. Mereka bisa didiplin karena diajak oleh pemimpin yang berdisiplin. Lihat juga masyaraat kita kalau di Singapura, pasti au disiplin dalam antri, disiplin di jalan, dan sebagainya

Itu semua karena aparat pemerintah yang mengelola Kereta Api mampu memimpin masyarakat dengan sistem yang baik.

Persaingan Bukan Soal Harga Murah

Tak kalah pentingnya , persaingan bukan hanya soal harga kita harus lebih murah dibanding negara lain.  Coba kita lihat faktanya. Contohnya dalam perdagangan ayam dunia, Brazil dikenal menawarkan ayam yang lebih murah dibanding negara lain, namun nyatanya Eropa lebih memilih ayam dari Thailand. Itu karena Thailand mampu memberikan nilai lebih dibanding Brazil.

Untuk dapat memenangkan persaingan, pelaku bisis bisa menjadi pelopor dalam menyediakan produk tertentu. Contoh merek Aqua, teh botol Sosro. Keduanya sanggup bersaing karena bertindak sebagai pencipta atau pelopor produk. Tentunya mereka siap bersaing di Era MEA.


Bambang Suharno (kanan) di FTI UII Jogja
Jika menjadi pelopor nggak bisa, jadilah yang terbaik. Google, facebook dan twitter adalah contoh produk yang bukan pelopor namun sebagai pemenang. Karena mereka memberikan yang lebih baik dibanding yang lain.

Jika menjadi yang terbaik juga tidak bisa, maka pelaku bisnis dapat bersaing dengan menjadi yang berbeda. Produk-produk yang secara kualitas tidak yang terbaik, mampu bersaing jika dapat memberikan sesuatu yang berbeda dibanding produk pada umumnya.

(bersambung)

Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Daya Saing Kita

Dalam sebuah diskusi dengan kalangan pelaku bisnis peternakan unggas, saya bertanya kepada seorang peternak, "apakah Anda bisa memelihara ayam dengan standar produksi yang sama dengan yang dilakukan oleh Peternak Thailand?"

Jawabnya dengan mantap," Ya, bisa. kalau di Thailand satu meter persegi menghasilkan ayam hidup 10 kg dalam 25 hari, saya bisa. Kalau di Thailand konversi pakan 1,8, saya bisa. Bukan hanya Thailand, mau diadu dengan negara lain dengan parameter teknis yang sama, kami siap".

"Lho, kalau begitu kita nggak usah takut globalisasi dong, apalagi MEA (masyarakat Ekonomi ASEAN," kata saya.

"Ya, seharusnya tidak, karena setiap teknologi baru di   bidang peternakan, kita bisa langsung mempraktekannya. yang jadi masalah adalah faktor-faktor di luar urusan peternak. Misalnya rantai pemasaran yang panjang, biaya distribusi yang lebih mahal, bahan baku pakan lebih mahal. Juga pungutan-pungutan yang nggak jelas,"urainya berapi-api.

Sementara itu di beberapa forum yang membahas daya saing Indonesia, para pejabat dan birokrat berulang-ulang berbicara soal indeks kualitas SDM, dimana Indonesia pada posisi yang rendah. Untuk mengukur indek kualitas SDM ini digunakan parameter antara lain tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Melalui ukuran indeks SDM ini, lantas mereka--para pakar--menjadi memaklumi bahwa Indonesia layak kalah dengan negara tetangga. Karena para pakar memaklumi jika kita kalah bersaing, maka psikologis masyarakat menjadi kalah, menjadi pemegang "mental kalah" bukan mental pemenang.

Sangat disayangkan pula bahwa dalam analisa itu disampaikan, karena peternak rata-rata tingkat pendidikannya rendah, maka tidak mampu bersaing dengan peternak negara lain.

Semestinya kita memilah dulu peta persaingan. Di bidang peternakan unggas, permasalahan utamanya justru bukan di tingkat pelaku budidaya alias peternak. Mereka sudah mampu beternak sekelas peternak luar negeri. Bahkan bisa lebih efisien dari mereka. Soalnya adalah faktor di luar itu.

Jadi gimana? Menurut saya, yang utama adalah pemerintahnya, di pusat maupun di daerah. Apakah mereka bisa mengambil terobosan agar bahan baku pakan melipah dan harganya bersaing dengan bahan baku impor. Apakah pemerintah bisa lebih kreatif dalam membuat kebijakan yang mendorong rantai pemasaran dari kandang ke konsumen lebih efisien. Apakah infrastruktur khususnya jalan dari kandang ke konsumen bisa dijamin tidak rusak, sehingga lebih lancar dan tingkat kerusakan dan kematian ternak di perjalanan menurun?

Jika itu semua bisa dilakukan, peternak siap bertanding di laga ASEAN.

Oya, tahun lalu saya berkunjung ke acara pameran peternakan di Perancis (SPACE 2014) . Saya berkesempatan berkunjung ke peternakan sapi dan ayam. Perjalanan dari kota Rennes (tempat pameran) ke peternakan ditempuh dalam waktu 1 jam, dengan bus ukuran besar. Jalannya halus mulus tanpa lubang, sampai di halaman peternakan. Bagaimana dengan jalan menuju peternakan kita?

Jangankan ke peternakan, jalan menuju perumahan di tengah kota saja banyak yang hancur hehehe.

Tetang semangat.


Mau Jadi Driver atau Passenger?



Sejak usia muda para pemimpin bangsa telah belajar hidup mandiri, bahkan diajarkan oleh orang tuanya agar tidak menjadi anak manja atau jadi anak rumahan yang hanya belajar untuk mendapat nilai ijazah semata. Mereka diajak keluar untuk menghadapi berbagai tantangan.

Proklamator RI Soekarno salah satu contohnya. Ia tinggal sebentar dengan ayah bundanya di Blitar, kemudian tinggal bersama kakeknya di Tulung Agung, lantas pindah ke Mojokerto agar bisa melanjutkan sekolah di Europeesche Lagere School (ELS).

Ketika melanjutkan sekolah di Hoogere Burger School (HBS) Surabaya, Soekarno menumpang di rumah pimpinan Syarekat Islam HOS Tjokroaminoto. Saat di sekolah menengah itulah tahun 1918 ia mendirikan organisasi pemuda Jawa (Jong Java).
Lulus dari HBS Soekarno pergi ke Bandung melanjutkan kuliah di ITB yang saat itu bernama Technische Hoge School. Di kota ini ia tinggal di rumah Haji Sanusi yang merupakan kerabat HOS Tjokroaminoto. Ia diperkenalkan dengan tokoh nasional Ki Hajar Dewantara, Tjiptomangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker. Interaksi inilah yang membedakan Soekarno dengan mahasiswa pada umumnya. Maka tak mengherankan, ketika lulus, ia terlibat dalam gerakan-gerakan yang bermuara pada perjuangan merebut kemerdekaan. Ia mendirikan beberapa organisasi, salah satunya yang paling fenomenal adalah Partai Nasional Indonesia (PNI)

Tatkala meraih gelar insinyur, Soekarno tidak memlilih bekerja di pemerintahaan Belanda dengan gaji yang memadai, melainkan memilih untuk melawan kolonialisme.
Ibarat naik kendaraan, Soekarno tidak memilih menjadi penumpang yang bisa bersantai, namun ia memilih menjadi driver dengan segala resikonya. Sebagai pengemudi ia tak boleh tidur, bahkan kantuk sejenakpun berbahaya.
Prof. Renald Kasali dalam bukunya “ Self Driving” mengatakan, bangsa yang hebat adalah “a driver nation”. Terbentuknya driver nation adalah hasil dari pribadi-pribadi yang  bermental “driver” yang menyadari bahwa ia adalah mandataris kehidupan. Para pemimpin di driver nation sadar bahwa ia mendapatkan mandataris dari rakyat untuk melakukan perubahan.

Kata Renald, driver adalah sikap hidup yang membedakan dengan sikap “passenger” (penumpang). Anda tinggal pilih , ingin duduk manis sebagai penumpang di belakang atau mengambil resiko sebagai driver di depan? Di  belakang anda boleh duduk sambil ngobrol, makan, bercanda bahkan ngantuk dan tertidur. Anda juga tidak harus tahu jalan, tidak perlu memikirkan keadaan lalu lintas dan tak perlu merawat kendaraan.
Sebaliknya seorang driver bisa hidup dimanapun. Awalnya mereka men-drive diri sendiri, kemudian me-drive orang lain, dan pada level seperti Bung Karno dan para pemimpin lainnya, mereka ikut men-drive bangsa.
Betapa banyak mental penumpang di sekitar kita agaknya membuat Renald cukup resah. Dalam situasi baik pun mereka gampang mengeluh, mengkritik organisasi di kantornya, mengkritik para pemimpin bahkan mencaci maki presiden tanpa data yang jelas.
Mereka tidak mengambil bagian sebagai komponen yang melakukan perubahan, melainkan hanya sebagai penumpang saja.

Keberhasilan Indonesia lepas dari jerat penjajahan adalah karena muncul pada pelajar dan mahasiswa waktu itu tampil sebagai driver. Seandainya mereka memiliki sikap penumpang, niscaya para kaum terpelajar lebih memilih menjadi pegawai pemerintah Belanda dengan fasilitas yang jauh lebih baik dari rakyat pada umumnya. Dan sangat mungkin Indonesia tetap menjadi bangsa terjajah.

Membaca buku karya Self Driving, saya langsung melihat sekeliling. Kaum muda semakin banyak yang menikmati kemanjaan menjadi mental penumpang. Orang tua mereka sangat protektif. Mengantar jemput di sekolah sejak TK hingga SMA. Mereka dicarikan tempat kost ketika kuliah di luar kota dan diberikan fasilitas lengkap. Dicarikan pekerjaan ketika lulus. Bahkan tak sedikit orang tua ikut terlibat dalam karir anaknya. Orang tua modern ini mengawal dan menjadi driver bagi kehidupan anaknya.
Sementara itu di dunia pendidikan, mereka diajari untuk menghafal pelajaran, bukan memecahkan masalah kehidupan. 

Kemanjaan ini jika diteruskan akan semakin membuat masyarakat didominasi oleh mental penumpang. Tak mengherankan jika situasi ekonomi makin banyak didominasi produk impor. 

Sikap driver bukan hanya penting bagi aktivis politik dan birokrasi, namun juga para pimpinan dan karyawan perusahaan. Dunia usaha menghendaki manusia-manusia berkarakter driver yang berkompetensi, cekatan, gesit, berinisiatif dan kreatif. 

Artikel ini disusun Bambang Suharno dan telah dimuat di Majalah Infovet edisi Januari 2015

Pengalaman Jalan-Jalan di Perancis dengan Kereta TGV



Tanggal 14-20 september 2014 lalu saya mendapat kesempatan perjalanan ke Perancis untuk menghadiri undangan SPACE, sebuah pameran industri peternakan terbesar kedua di dunia, yang berlangsung di Kota Rennes, Provinsi Bretagne (Brittany), Perancis. Di kalangan pelaku industri peternakan di Indonesia, pameran ini sangat terkenal, namun pengunjung dari Indonesia memang tidak sebanyak pengunjung pameran peternakan lain misalkan VIV di Bangkok, China dan Belanda atau International PoultryExpo (IPE) di Atlanta, USA.

Melalui media ini, saya tidak berbicara soal hebatnya industri peternakan di negara-negara Eropa atau belahan dunia lain, melainkan pengalaman perjalanan di Paris dengan kereta TGV yang saya nikmati dalam perjalanan dari Paris menuju Rennes.
Train a Grande Vitesse (TGV) atau kereta api kecepatan tinggi di Perancis telah dioperasikan sejak tahun 1981. Selama lebih dari 30 tahun jaringan KA TGV terus berkembang di Perancis, kemudian tembus ke beberapa Negara Eropa seperti Belgia, Belanda, dan Inggris. Teknologi KA TGV juga berkembang dengan cepat seiring dengan jumlah armada serta rekor kecepatan yang dicapai.
Dari berbagai informasi yang saya peroleh,sejak awal jaringan jalan KA di Perancis yang terhubung dengan beberapa Negara di Eropa telah menggunakan jalan rel dengan lebar sepur 1435 mm yang merupakan standard gauge atau normal gauge. Dengan jalan rel 1435 mm dan lokomotif listrik kereta api di Eropa dapat mencapai kecepatan sampai 200 km/jam pada jalan lurus dan datar. Hal ini belum memuaskan kinerja la Societe Nationale des Chemins de fer du Francais (SNCF) atau Perkeretaapian nasional Perancis.

Sekitar tahun 1975, SNCF mengadakan studi-studi dan percobaan untuk meningkatkan kecepatan KA dan diwujudkan dengan pembagunan jalur supercepat TGV dengan teknologi baru. Jalur baru TGV ini dibangun dengan geometry relative lurus, bila ada tikungan diusahakan dengan radius yang besar, kelandaian yang kecil, walaupun masih ada tanjakan yang cukup terjal.

Jalur KA TGV yang pertama kali dibangun adalah antara Paris-Lyon, berjalur ganda, lebar sepur 1435 mm; tegangan listrik aliran atas 25 KV, 50 Hz, dan V operasi 270 km/jam. Jalur KA TGV selanjutnya yang dibangun adalah Paris-Le Mans ke arah barat Perancis dan paris-Tours ke arah selatan, kemudian dilanjutkan Paris-Lile kea rah utara yang akhirnya tembus ke Inggris melalui terowongan bawah laut.

Rennes Tujuan Saya

Rennes terletak di wilayah barat Paris, membutuhkan waktu 2 jam perjalanan dari stasiun Montparnase Paris. Sesuai saran dari beberapa teman, saya bersama 2 orang rekan dalam perjalanan dari Indonesia, membeli tiket TGV secara online di Indonesia dan dibayar menggunakan kartu kredit. Membeli secara online harganya lebih murah dibanding beli langsung di stasiun. Dengan membeli secara online satu kali jalan harga tiket TGV 40 euro.

Saya berangkat dari Jakarta tanggal 14 sept pukul 19.30 menggunakan AirFrance, transit di Singapura sekitar dua jam dan selanjutnya perjalanan dari  Singapura menuju Bandara Charles D Gaule Perancis memakan waktu 12 jam. Tiba di Paris jam 9 pagi hari waktu setempat atau jam 14 wib. (Waktu Jakarta lebih cepat 5 jam dibanding waktu Paris).

suasana di dalam gerbong jereta TGV
Dari bandara Charles D Gaul saya naik kereta menuju Stasiun Mountparnasse, sekitar 45 menit. Masih ada waktu 2 jam untuk menunggu kereta TGV berangkat menuju Rennes. Kami istirahat sambil ngopi sejenak di Starbuck Café sambil bertanya ke petugas lokasi apa yang menarik untuk dikunjungi di sekitar stasiun. Oleh seorang di starbuck café saya disarankan untuk melihat taman pemakaman kuno yang tak jauh dari stasiun. Agak aneh saya mendengar saran tersebut, namun saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju pemakaman yang dimaksud, yakni sebuah pemakaman mewah di tengah kota yang sebagian adalah pemakaman bersejarah tahun 1800an.

Oya, cuaca Perancis di bulan September adalah cuaca yang sangat cocok untuk warga Indonesia. Kami tidak tersiksa oleh dinginnya Eropa, karena suhu pagi hari sekitar 19-20 derajat celcius dan siang hari sekitar 25-28 derajat celcius. Ini adalah cuaca sejuk mirip di daerah Puncak, sehingga kami tidak perlu jas tebal dan pakaian dalam untuk menahan dinginnya salju sebagaimana yang pernah saya alami beberapa tahun lalu di Amerika Serikat di Bulan Januari.

Print dan Stempel Tiket
Sebelum saya jalan-jalan di sekitar stasiun Montparnasse, saya terlebih dulu melakukan print tiket. Sesuai petunjuk dari email, saya harus mendapatkan mesin print tiket di dalam stasiun.Untuk memudahkan melakukan print tiket sebaiknya email dari pihak TGV diprint dulu di tanah air, sehingga ketika melakukan print, tinggal baca petunjuk dan mengikuti perintah.Sebab kalau salah pencet bisa-bisa salah print. Setelah selesai melakukan print, computer memerintahkan agar saya menyetempel tiket. Saya langsung mencari petugas untuk menanyakan dimana bisa menyetempel tiket. Ooo rupanya yang memberi stempel adalah mesin juga. Wah pantesan di stasiun sebesar ini jarang ditemui petugas. Ini sebuah negara dimana tenaga kerja sangat mahal sehingga banyak hal harus dilakukan dengan computer.

Saya mendapatkan mesin stempel di beberapa tempat, tiket tinggal dimasukkan dan langsung keluar lagi dengan mendapatkan beberapa kode tambahan. Berbeda dengan bayangan saya sebelumnya. Saya kira stempel itu berupa cetakan stempel bulatan besar sebagaimana stempel instansi pemerintah, melainkan hanya kode verifikasi saja.

Selesai setempel, saya jalan-jalan ke wisata pemakaman selama sekitar satu jam. Kembali ke stasiun jam 13 dan tinggal menunggu kereta yang sesuai dengan tiket, menuju Rennes. Awas hati-hati jangan sampai salah naik kereta. Kita harus mencermati layar computer besar yang mengumumkan di jalur berapa kerata yang mau kita tumpangi. Sistem manajemen stasiun ini mirip airport. Kita perlu mengecek kapan dan dimana kita harus menunggu kereta. Juga harus melihat kita duduk di gerbong berapa beserta nomor tempat duduknya. Kita harus terbiasa melihat pengumuman, karena jarang ada petugas. Berbeda dengan di stasiun Gambir, dimana di setiap pintu gerbong ada petugas yang memberi tahu no gerbong dan ada yang keliling mengecek tempat duduk kita.

Menikmati Perjalanan Paris-Rennes
Sesuai jadwal di tiket, pukul  14.05 waktu setempat kereta TGV berangkat menuju Rennes.  Dalam waktu kurang dari 10 menit pemandangan kanan kiri kami bukan lagi gedung-gedung perkotaan melainkan pemandangan khas Eropa, rumput dan pepohonan hijau sepanjang jalan, sebagian ada yang daun yang menguning dan berguguran, pertanda musim gugur sedang dimulai.
Tempat duduk kereta sangat nyaman. Saya sudah lama tidak naik kereta Argo Lawu atau Argo Bromo, tapi seingat saya kurang lebih sama nyamannya. Bedanya kereta ini berjalan lebih cepat.  Karena telinga saya agak peka, maka pada saat awal kereta ngebut, telinga saya agak berdengung, mirip ketika pesawat baru take off. Saya segera mengunyah permen agar telinga bisa berkontraksi menyesuaikan gravitasi.

Kereta TGV sepertinya didesain untuk para pelancong dari berbagai negara. Di antara gerbong disediakan sebuah ruangan untuk menaruh koper dan barang-barang yang ukurannya besar. Sementara itu tas ransel bisa ditempatkan di atap kereta, sebagaimana kereta Indonesia. Sensasi perjalanan yang mengasyikan.  Pemandangan di depan sana terlihat hamparan kebun jagung dan gandum yang begitu luas. Terkadang ada hamparan rumput dan terlihat puluhan ekor sapi sedang merumput. Beberapa kali saya melihat  ratusan bangunan rumah, mungkin milik para petani, yang bentuk bangunannya cukup seragam, semacam model minimalis tapi ukurannya lebih besar.
Tanpa terasa karena fisik cukup lelah, dan suhu yang sejuk di dalam kereta. Saya terkantuk-kantuk hingga akhirnya sampai di stasiun Rennes. Kota ini sekarang menjadi tempat kunjungan bagi ribuan orang dari 100an negara yang ingin melihat pameran peternakan SPACE.  Karena saya datang pada H-1, maka saya menduga penumpang kereta yang bersama saya sebagian kemungkinan adalah pengunjung pameran ataupun wartawan yang akan meliput.

Syukur alhamdulilah akhirnya perjalanan sampai di tujuan. Saya langsung pesan taksi menuju hotel. Kurang lebih 20 menit sampai, dengan biaya 27 Euro. Ya, kira-kira 2-3 kali lipat biaya taksi di Jakarta.

Sholat, Makan Halal dan Menara Eiffel
Sebagai muslim saya sudah mempersiapkan diri untuk mencari informasi mengenai sholat dan makanan halal. Tidak usah khawatir halal food bisa dicari di Perancis. Tadinya saya kesulitan mendapatkan restoran halal, karena di kanan kiri jalan dekat stasiun terlihat restoran dengan gambar babi. Namun ternyata Kira-kira 500 m dari stasiun Rennes ada Kebab dengan tulisan halal, sebelahnya ada Halal Fried Chicken.  Alhamdulilah akhirnya saya bisa makan sore di situ. Harganya sekitar 10 Euro (Rp. 150.000) per porsi termasuk minum. Porsinya cukup besar, bisa untuk dua orang untuk ukuran saya.

Perancis posisinya di sebelah "barat laut" Mekah, sehingga arah kiblat adalah ke Tenggara. Di Bandara CDG disediakan musholla. Itu saya dapatkan setelah bertanya ke petugas. Saya berjalan kaki cukup jauh, dan Syukur alhamdulilah di tempat ini pula saya bisa ketemu dengan sesama orang Indonesia yang sedang ada acara di Perancis.

Saya balik dari Rennes ke Paris Kamis 18 September 2014 sore hari, lalu menginap semalam di Paris untuk melihat-lihat kota Paris. Kamis malam saya jalan-jalan menggunakan kereta Metro, semacam kereta Jabodetabek.  Saya tidak mau melewatkan untuk melihat menara Eiffel di malam hari dengan naik kapal sepanjang sungai.

salah satu sudut kota Paris
Pagi harinya kami kembali naik Metro,berkunjung ke Muse D lavre dan juga menara Eiffel di siang hari.

Tentang kereta Metro, saya melihat mayoritas masyarakat paris dari warga biasa hingga eksekutif lebih suka menggunakan Metro untuk perjalanan ke tempat kerja. Namun karena jumlah kereta dan fasilitasnya mencukupi dan nyaman, para penumpang tidak sampai berjejalan sebagaimana di Kereta Jabodetabek, meskipun di jam-jam padat.

Jumat 19 September saya kembali naik Air France menuju Jakarta. Saya ucapkan selamat tinggal Paris, sambil mencoba mengingat-ingat apa sebenarnya persamaan Paris  dengan Bandung yang dijuluki Paris Van Java……..***

Antara Berpikir dan Berperilaku


Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau mengharapkan orang lain memperlakukanmu, demikian petuah yang sering kita dengar. Boleh jadi sekarang kita perlu mengevaluasi petuah ini. Pasalnya, setiap orang sebenarnya memiliki kemauan yang berbeda-beda tergantung cara berpikir dan berperilaku.

Jika Anda senang diberi penghargaan di atas panggung, belum tentu staf Anda senang diperlakukan yang sama. Jika Anda senang dikasih bunga, belum tentu orang lain senang dikasih bunga. Jadi perlakukanlah orang lain sebagaimana mestinya, yaitu sebagaimana tipe orang tersebut.

Pesan ini disampaikan oleh Agus Purwanto, Certified Associate  Emergenetics International-Asia saat memberikan workshop emergenetics di depan pengurus ASOHI Pusat, pertengahan Agustus lalu. Agus mengatakan, Emergenetics  merupakan salah satu psychometrics tools berdasarkan pada brain research terkini. Saat ini di berbagai negara, Emergenetics  makin populer karena tool  ini dapat memberikan arah obyektif dalam mengembangkan individu dan tim. 

Keunggulan emergenetics adalah mampu secara jelas mendeteksi tipe setiap orang dalam hal berpikir dan bertingkah laku (thinking and behavior) yang diterjemahkan dalam bentuk diagram yang mudah dipahami.

Konsep Emergenetics diciptakan oleh Geil Browning PhD dari Colorado Amerika Serikat, yang kini mengembangkan lembaga The Browning Group International. Sebagai pendidik, peneliti, trainer, dan pembicara bereputasi internasional, ia telah membuat perubahan yang signifikan dalam kehidupan ratusan ribu orang melalui konsep Emergenetics.

Menurut Browning, siapa diri kita sekarang merupakan hasil watak tertentu yang emerged (muncul) dari pengalaman kehidupan kita, ditambah genetics (ciri-ciri genetis) kita. Interaksi antara nature dan nurture ini merupakan dasar Emergenetics.
Dengan memahami profil emergenetic, kita dapat lebih memahami diri sendiri dalam melakukan pendekatan pada situasi baru, cara kita menyelesaikan berbagai hal, cara orang lain melihat kita, cara meningkatkan hubungan dan cara berkomunikasi dengan orang yang tidak seperti kita.

Menerapkan Emergenetics di tempat kerja akan membuat kita bisa mengambil keputusan karier yang optimal, mendorong kreativitas dan kinerja, meningkatkan profit, membuat keputusan yang lebih baik, membentuk tim “penasihat” yang tepat, menulis kajian kinerja yang efektif, memberikan presentasi yang menarik, menjual kepada berbagai jenis pelanggan, dan memotivasi segala macam karyawan.

Melalui serangkaian kuesioner online, emergenetics dapat menilai cara berpikir kita ke dalam 4 jenis  yaitu Analitis (blue preference), Struktural (green preference), Sosial (social preference) dan Konseptual (yellow preference) . Sedangkan keunggulan perilaku kita dinilai dengan mengukur tingkat ekspresi (expressiveness) , Keasertifan (assertiveness), dan Fleksibilitas (flexibility).

Berbeda dengan konsep lainnya, dimana para pakar biasanya mencampuradukan antara berpikir dan berperilaku, pendekatan emergenetics memisahkan cara berpikir dan berperilaku.  Perbedaan lainnya adalah, emergenetics memastikan bahwa semua jenis manusia baik cara berpikir maupun berperilaku adalah sudah baik adanya.

Agus Purwanto, memberikan contoh tokoh dunia yang ternyata memiliki perbedaan dalam cara berpikir. Gregory Mendel, peletak dasar teori genetika modern, memiliki blue preference  alias cara berpikir analitis.  Jend. D. Eisenhower,  pemimpin operasi D-Day di pantai Normandia, 6 Juni 1942, memiliki green preference  alias cara berpikir struktural.  Bunda Theresa, pemimpin organisasi nirlaba yang menyantuni anak miskin di banyak negara, memiliki red preference  alias pola pikir social. Sedangkan Albert Einstein , penemu teori relativitas yang sangat menghebohkan, memiliki yellow preference alias berpikir secara konseptual.

Jadi janganlah menghakimi diri sendiri sebagai pribadi yang lebih jelek dari orang lain, karena semua orang hakekatnya adalah pribadi yang unggul. Jadilah Anda sebagai pribadi yang unggul dengan tipe emergenetics apapun.***
Bambang Suharno

Artikel ini dimuat di Majalah Infovet edisi September 2014