MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

Memutus "Lingkaran Siput" Perunggasan (Sumbang Pikir Untuk Pemerintah dan Insan Perunggasan)


Demonstrasi peternak unggas belakangan ini semakin sering terjadi. Pada mulanya yang sering berdemonstrasi adalah peternak ayam broiler, karena gejolak harga ayam broiler di tingkat peternak  seringkali menguras arus kas peternak. Sebentar harga melonjak ketika lebaran, sehabis itu mengalami kemerosotan berbulan-bulan. Bahkan sejak 2014, nyaris peternak tak sempat menikmati laba. Karuan saja, sebagian peternak harus rela menjual mobil dan properti lainnya demi untuk kelangsungan usahanya.

Jika mayoritas peternak sudah terjerat hutang, kemudian menuntut pihak terkait melalui dialog tidak menemukan solusi, tak ada jalan lain, mereka turun ke jalan menyuarakan aspirasinya. Seperti beberapa waktu lalu, peternak broiler Boyolali Jawa Tengah turun ke jalan membagi-bagikan lebih dari 1.000 ekor ayam kepada masyarakat sebagai simbol protes terhadap jatuhnya harga ayam . Sehabis itu mereka menyampaikan aspirasinya melalui Pemda setempat.

Sebelumnya sejumlah demo juga dilakukan oleh peternak petelur Blitar Jawa Timur dan juga daerah lainnya, termasuk di wilayah Jabodetabek. Tanggal 30 Maret 2017 ini peternak ayam dari berbagai daerah melakukan demo di Jakarta
Bukan hanya peternak broiler. Belakangan ini peternak ayam petelur yang selama ini jarang mengeluh akibat anjloknya harga telur, kini juga ikut-ikutan berdemonstrasi karena mengalami nasib serupa dengan peternak broiler. Selama setahun lebih harga telur hanya sekitar 13.000/kg, padahal biaya produksi sekitar 15.00-17.000/kg.

Prestasi Perunggasan Layak Diapresiasi

Jika kita melihat secara keseluruhan bisnis perunggasan Indonesia, tak sedikit orang di luar perunggasan tercengang dengan prestasi yang diraih pengusaha dan peternak unggas.  Berbeda dengan peternakan sapi yang kesulitan mencukupi kebutuhan konsumsi daging, peternakan ayam sudah sejak lama telah mencapai level swasembada ayam dan telur. Indonesia sama sekali tidak butuh tambahan impor daging ayam dan telur, karena yang terjadi justru sering oversupply sebagaimana yang belakangan ini terjadi.

Prestasi swasembada itu diraih tanpa suntikan dana APBN. Menurut catatan penulis, dana pemerintah untuk unggas (ayam ras) hanya pada tahun 1970an berupa proyek Bimas Ayam yang hanya beberapa juta rupiah saja. Sejak saat itu peternak unggas dilepas bebas, untuk berinovasi sendiri mengembangkan usahanya.

Sangat berbeda dengan komoditi padi, jagung dan kedelai yang kerap mendapatkan dana untuk swasembada disertai program pendampingan intensif oleh pemerintah. Begitupun dengan program swasembada daging sapi yang juga didukung dengan APBN yang tidak sedikit, kerap menimbulkan tanda tanya pelaku usaha perunggasan, mengapa pelaku usaha perunggasan yang sudah berkontribusi begitu banyak untuk mencukupi kebutuhan protein hewani dan menciptakan lapangan kerja jutaan orang, kurang mendapat perhatian semestinya?

Lingkaran Siput yang Membesar

Gejolak harga di pasar komoditi termasuk komoditi ayam, sepertinya sudah dianggap sebagai peristiwa biasa sehingga pemerintah kerap kali membiarkan situasi ini hingga kemudian harga mengalami koreksi secara alami. Namun gejolak perunggasan saat ini terasa jauh lebih besar dibanding gejolak 10-20 tahun yang lalu.

Kejadian ini sepertinya sudah pernah diramalkan oleh Soehadji (Dirjen Peternakan 1986-1994) di tahun 1990an. Ia menyebut masalah gejolak harga perunggasan ini adalah masalah klasik yang berulang-ulang yang dapat digambarkan sebagai lingkaran siput perunggasan. Dimulai dari harga melonjak karena kekurangan pasokan, disusul penambahan populasi oleh pelaku usaha besar maupun kecil, hingga kemudian terjadi over supply yang membuat harga jatuh. Selanjutnya dilakukan  pengurangan investasi secara alami,  hingga harga naik lagi dan seterusnya berputar berulang-ulang, makin membesar, dan membesar, seperti lingkaran siput.

Bisa kita bayangkan, tahun 1990an, populasi ayam sekitar 800 juta ekor, tahun 2017 ini diperkirakan 3 miliar ekor. Gejolak akibat fluktuasi harga pastinya jauh lebih dashyat dibanding fluktuasi tahun 1990an. Apalagi jika kondisi harga jatuh berlangsung berbulan-bulan. Total kerugian yang diderita peternak dan perusahaan sarana produksi ternak mencapai puluhan triliun rupiah.

Memutus Lingkaran Siput

Sesungguhnya naik turunnya permintaan ayam dapat diprediksi setiap tahun oleh para pelaku usaha dan pemerintah. Indonesia punya hari raya yang biasanya meningkatkan permintaan. Ada juga musim sepi pembeli, misalnya di kala tahun ajaran baru. Bulan tertentu dimana banyak hajatan di daerah tertentu akan terjadi peningkatan permintaan, demikian pula keramaian Pilkada bisa mendongkrak permintaan ayam dan telur.

Pada negara yang pasarnya didominasi fresh commodity, maka campur tangan pemerintah sangat diperlukan. Hal ini karena produk peternakan mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply demand menjadi faktor penting penentu harga.

Campur tangan pemerintah perlu dilakukan mulai dari hulu hingga hilir. Pada bagian hulu, pemerintah perlu berperan melakukan supply management (manajemen pasokan). Di sini, pemerintah bersama asosiasi perunggasan dapat melakukan prediksi pasar setiap tahun dan mengatur pasokan bibit per bulan agar sesuai dengan naik turunnya permintaan.

Supply management ini tidaklah selalu akurat karena faktor penentunya relatif banyak. Oleh karena itu perlu campur tangan di hilir yaitu mendorong tumbuhnya usaha pemotongan penyimpanan dan pengolahan. Sehingga hasil usaha peternak tidak lagi dijual sebagai ayam segar atau telur segar melainkan ayam beku, ayam olahan, tepung telur ataupun inovasi produk lainnya. Cara ini akan efektif untuk mengurangi gejolak harga yang tidak wajar. Patut dicatat, dari 3  miliar ekor ayam yang diproduksi Indonesia tahun ini, yang dijual sebagai ayam beku baru sekitar 10-20% saja. Angka ini perlu ditingkatkan untuk mengurangi terjadinya commodity trap yang terjadi selama ini.

Karena peternak mandiri maupun integratror sama-sama pemain komoditi (menjual ayam hidup), maka selama ini mereka sama-sama terjebak pada commodity trap (jebakan komoditi dimana harga tergantung pada supply demand). Sudah bisa ditebak, jika harga jatuh, peternak dengan modal kecil yang umumnya tidak memiliki cadangan dana ketika harga jatuh, akan mudah mengalami kebangkrutan.

Perusahaan menengah dan besar pada umumnya tidak tertarik dengan program hilirisasi. Oleh karena itu sangat wajar jika pemerintah melakukan dukungan terhadap program hilirisasi baik berupa campur tangan penyimpanan melalui lembaga semacam Bulog ataupun insentif untuk pengusaha yang melakukan usaha hilir (pemotongan, penyimpanan, pengolahan). Lembaga seperti Bulog bisa ikut mendirikan perusahaan produsen tepung telur, tapi tujuannya bukan untuk komersial melainkan lebih dimaksudkan untuk mengurangi membanjirnya telur segar yang melampaui permintaan.

Hal yang sama juga dilakukan pada upaya mengurangi kelebihan pasokan dalam negeri dengan menembus pasar ekspor. Kegiatan ekspor dalam kondisi oversupply seharusnya bukanlah sebagai proyek untung sesaat, melainkan sebagai cara untuk mendongkrak harga di dalam negeri. Pemerintah bisa memberikan kemudahan, kalau perlu memberikan subsidi ekspor, pada saat dimana harga ayam dalam negeri sudah berada di titik yang sangat merugikan peternak.

Sementara itu, pemerintah juga perlu memanfaatkan dana APBN untuk kampanye konsumsi ayam dan telur. Masih ada ruang untuk meningkatkan konsumsi ayam dan telur sebesar 2 kali lipat dari sekarang, karena kita melihat konsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat tinggi, sekitar 4.000 batang rokok per orang per tahun, sementara konsumsi ayam hanya 10 kg/kapita/tahun dan konsumsi telur hanya 150 butir/kapita/tahun. Jika konsumsi naik 2 kali lipat saja, bisnis perunggasan akan menciptakan jutaan tenaga kerja baru sekaligus usaha perunggasan akan semakin bergairah.

Tahun 2011 lalu Menteri Pertanian Suswono mencanangkan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) yang diinisiasi oleh 14 asosiasi perunggasan. Pencanangan ini sebagai upaya untuk mempercepat peningkatkan konsumsi ayam dan telur. Sayangnya, kegiatan kampanye ayam dan telur ini dijalankan sendiri oleh para peternak dan asosiasi perunggasan. Belum ada dukungan nyata dari pemerintah untuk mendongkrak konsumsi ayam dan telur agar tidak terpaut jauh dengan konsumsi negara tetangga. Padahal Kementerian Perikanan dan Kelautan memiliki program gemar makan ikan, dengan tim yang lengkap dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga konsumsi ikan secara nyata mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding konsumsi ayam dan telur.

Manajemen PR Perunggasan

Hingga saat ini belum ada kegiatan Public Relation perunggasan yang dikelola dengan profesional. Coba saja kita tanya konsumen (ibu rumah tangga), apakah mereka tahu bahwa harga ayam sedang jatuh. Jawabannya hampir pasti mereka tidak tahu. Mereka tetap membeli ayam dengan harga yang sama dengan kondisi normal, tak ada penurunan harga. Bahkan pernah diberitakan di televisi, konsumen mengeluh karena harga ayam naik, padahal saat itu harga ayam di kandang sedang jatuh.

Jika kegiatan komunikasi publik ini dilakukan dengan baik, kejadian harga yang asimetris antara kandang dengan konsumen bisa dikurangi. Melalui strategi PR yang baik, konsumen bisa didorong untuk mengetahui harga di tingkat peternak dan peduli akan nasib peternak, sehingga tatkala harga di tingkat peternak anjlok, konsumen bisa menuntut harga turun. Jika harga benar-benar turun, konsumen akan membeli lebih banyak. Jika membeli lebih banyak, maka harga di tingkat peternak bisa terdongkrak hingga di tingkat yang wajar. Yang terjadi sekarang, ketika harga di peternak jatuh, para pelaku usaha distribusi ayam menikmati margin yang besar, tanpa diprotes konsumen ataupun pedagang keliling.

Nah, semua langkah di atas yaitu supply management, program hilirisasi perunggasan, kampanye konsumsi ayam dan telur serta PR perunggasan, perlu dijalankan secara simultan untuk dapat memutus masalah lingkaran siput perunggasan. Peraturan perundang-undangan yang dibuat mestinya harus mencerminkan strategi tersebut agar langkah-langkah  yang dilakukan dunia usaha bersama pemerintah tidak dinilai sebagai pelanggaran hukum.

Rasanya kurang adil jika perunggasan nasional yang perputaran bisnisnya melebihi 200 triliun rupiah per tahun dengan jutaan tenaga kerja, plus prestasi swasembada, dibiarkan untuk menghadapi masalahnya sendiri berupa  lingkaran siput yang terus membesar.

Semoga bermanfaat.
Bambang Suharno

Pemimpin Redaksi Majalah Infovet
Pengamat Perunggasan

15 komentar:

  1. Pagi pak Bambang. Luar biasa opininya. Memang dalam beberapa tahun terakhir ini, perunggasan menjadi salah satu hal terbesar yang harus di "refresh" oleh semua pihak terkait. Saya sepakat harus ada campur tangan pemerintah secara riil khususnya dalam hal penentuan harga jual produk peternakan. Koordinasi yang baik antara pemerintah, pelaku perunggasan dan pihak terkait lainnya. Maju terus perunggasan Indonesia. Trims.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Pak Irland atas komentarnya.

      salam sukses

      Hapus
  2. Pagi pak Bambang. Luar biasa opininya. Memang dalam beberapa tahun terakhir ini, perunggasan menjadi salah satu hal terbesar yang harus di "refresh" oleh semua pihak terkait. Saya sepakat harus ada campur tangan pemerintah secara riil khususnya dalam hal penentuan harga jual produk peternakan. Koordinasi yang baik antara pemerintah, pelaku perunggasan dan pihak terkait lainnya. Maju terus perunggasan Indonesia. Trims.

    BalasHapus
  3. pak bambang; hemat saya persoalan mendasar dalam karut marut ini adalah tidak sesuainya iklim negeri ini terhadap penerapan "sistem agribisnis yang utuh 100%" diterapkan. pasalnya konsep ini berhadapan dengan kondisi "farming system" yang dianut lebih dari 80 % peternak unggas di dalam negeri. Sesuai dg keputusan KPPU yg melarang perush integrator melakukan vertikal agribisnis.... seharusnya kita dapat "memadukan" kedua konsep ini dengan kehadiran "Koperasi Perunggasan" yang memang tidak populer di dunia ini. namun, kita dapat melakukan pendekatan dan jiwa besarnya para poultry shop yang selama ini bergerak di bawah kendali korporasi besar. disini perlu peran pemerintah menjembataninya... semoga kementrian koperasi dan kementan bisa melihat persoalan ini dengan jernih.....sukseh pak bambang....

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih Pak Rochadi Tawaf. Saya Sangat bangga mendapat komentar dari seorang pakar yang juga guru saya di Masterindo hehe.

      Hapus
  4. saya tambahkan empat solusi menghadapi karut marut perunggasan sebagai berikut : pertama, memperhatikan kesimpulan yang disampaikan oleh KPPU atas karut marut perunggasan yaitu dilarangnya perusahaan integrator melakukan usaha yang bersifat integrasi vertikal. Sehingga, dampaknya peternak rakyat tidak mampu bersaing dengan sehat. Kedua, dalam rangka keberpihakan terhadap peternakan rakyat, maka nomenklatur “peternakan rakyat” harus tetap ada dalam UU tentang PKH. Ketiga, pemerintah sebaiknya memberdayakan gerakan koperasi perunggasan secara nasional. Sehingga peternak rakyat akan mampu memiliki industri DOC dan pakan. Ke empat, pemerintah segera membentuk GGPS “Indonesia broiler dan layer” untuk menghindari ketergantungan impor ayam bibit. Kondisi ini akan mampu meningkatkan daya saing produksi peternakan rakyat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menarik nih Pak Rochadi mengenai koperasi perunggasan. Sudah pernah dibuat di era PPUI Pak Sri Mulyono Herlambang, tapi tidak jalan. Pak Teguh Boediyana saat menjadi Direktur Koperasi Peternakan Kemenkop juga mau menghidupkan kembali koperasi perunggasan. Juga kurang mulus.

      Teman-teman anggota PPUN juga pernah bikin koperasi di bogor, nggak jalan juga.
      Mungkin saatnya sekarang, pak Rochadi Pak teguh dkk merumuskan modelnya dan mempelopori gerakan koperasi perunggasan.

      salam hormat

      Hapus
    2. Pak Rochadi, KPPU melarang integrasi vertikal, dalam pelaksanaannya gimana ya? Bukankah koperasi perunggasan kalau mau jalan dengan efisien juga perlu melakukan integrasi vertikal?
      Terus gimana nasib perusahaan yang sudah terlanjur integrasi vertikal?

      Hapus
  5. Opini pak Bambang cukup membuka wawasan saya tentang perunggasan

    BalasHapus
  6. great Mr Bams memang seperti itulah kenyataan di peternakan bahkan di pertanian. Problem ini bukan problem kemarin tapi sudah lebih dr 20 tahun. Sepanjang ayam masih disibukkan dengan komoditas maka fluktuasi akan selalu menjadi teman tidur. PR pemerinah banyak mulai pembenahan hulu sampai mulai dikuranginya ketergantungan pasar kita terhadap komoditas ayam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul kata Pak Tatang, Di Indonesia, selama masih menjual komoditas, maka harus siap-siap sport jantung karena harga bisa berubah tiap hari.
      Maka salut buat teman-teman peternak yang mampu mengendalikan keuangan dalam bisnis yang sangat fluktuatif.

      Hapus
  7. P Bambang Suharno yth...saat ini sy hanyalah konsumen,..ketika sy makan ayam bakar dg harga sama tp tambah kecil???...hrg daging ayam lg mahal...lingkar pedagang masih bs berkelit ambil untung..keatas lg pedagang pengecer ayam daging...jg msh bisa berkelit ambil untung...keatas lg pedagang pengepul cabang...msh bs berkelit ambil untung...keatas lg pengepul utama ...jg paling bs ambil untung..mungkin masih ada rantai lagi pasar lagi yg berakhir pada peternak...kalau peternak skala diatas 1 jt ekor dg sistem mitra menurut sy fluktuasi tidak begitu pengaruh karena dapat saprodi langsung dari gate1 manufactur..dan punya pasar ke industri besar juga..tp klw skala ribuan apalagi dibawah 10 rb ya akan terasa berat fluktuasinya (diperkuat dengan keadaan peternak yg tidak bersatu atau dipersatukan kuat dg orgnsasi/koperasi)...mungkin diperlukan saluran industri daging beku atau Rekayasa industri pangan lain...shingga pasar tdk hanya bersifat kebutuhan insidentil..
    Memperbanyak industri saprodi jg mnjadi pilihan tepat utk mebantu tingkatkan produk pertanian dlm negeri...
    Nah disini perlu regulasi pemrintah..mf partisipasi sy baru sebatas ini mg menjadi inspirasi lanjutan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Pak Adila haqi atas tambahan informasi dan gagasan yang sangat bagus.
      Salam

      Hapus