MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

Catatan Perjalanan ke Shenzhen : Tentang Seekor Anjing Yang Disiplin di Kota Teknologi

Rabu, 1 Mei 2019, akhirnya sampai juga saya di kota Shenzhen, China setelah menempuh perjalanan 5 jam menggunakan pesawat China Shouthern Airlines. Seharusnya saya tiba di Shenzhen tanggal 1 Mei pukul 7 pagi, namun karena ada delay 2 jam lebih (kabarnya ada angin taifun) jadinya jam 9 lebih baru tiba di Bandara Shenzhen. Ditambah dengan waktu antrian keluar pesawat dan antrian mengambil bagasi, kami rombongan 9 orang dari Indonesia baru keluar dari Bandara Shenzhen menuju Hotel Vienna sekitar pukul 10, dan tiba di Hotel Vienna sekitar jam 11 siang.

Pagi itu cuaca di Shenzhen  lumayan nyaman dan sejuk. Suhu udara sekitar 20-25 derajat celcius, mirip dengan sejuknya kota Bandung. 

Perjalanan malam hari memang cukup membuat badan lebih penat. Kami sudah berkumpul di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta sekitar jam 10 malam tanggal 30 April 2019. Kami berkordinasi terlebih dahulu, berbagi tugas dan sedikit briefing mengenai acara di sana. Ada hikmahnya juga, karena mestinya jam 12 malam sudah boarding, kami jadi punya waktu berkeliling bandara 2 jam. Sebagian ada yang ngopi ada yang berkeliling ambil foto selfi yang menarik. 

Kedatangan kami ke Shenzhen adalah dalam rangka berkunjung ke Shenzhen International Pet Fair yang berlangsung tanggal 2-5 Mei 2019. Rombongan kami meliputi wakil dari dokter hewan praktisi, perusahaan obat hewan, perusahaan makanan hewan, pet breeder, asosiasi penyayang hewan, media dan stakeholder lainnya di bidang pet industry, Saya sendiri hadir mewakili majalah Cat & Dog, majalah khusus yang mengulas dunia kucing dan anjing.

Dari Kota Nelayan ke Kota Teknologi
Shenzhen bertetangga dengan HongKong, jauh dari Beijing

Kota Shenzhen terletak di Zhusanjiao atau Sungai Pearl, berbatasan dengan Hong Kong di selatan, Huizhou di utara dan timur laut, Dongguan di utara dan barat laut. Lingdingyang dan Sungai Pearl di barat serta Mirs Bay di timur dan kira-kira 100 kilometer (62 mil) di tenggara dari ibukota provinsi GuangzhouKota ini luasnya 2 ribu kilometer persegi (769 sq mi) termasuk daerah perkotaan dan pedesaan, dengan total populasi 12,5 juta  tahun 2018. Memiliki bentuk memanjang, berukuran 81,4 kilometer dari timur ke barat sedangkan dari utara ke selatan hanya 10,8 kilometer.


  

henzhen, kota nelayan jadi modern
x

Menurut sejarahnya, Shenzhen City awalnya hanyalah desa nelayan yang biasa bahkan termasuk desa miskin pada tahun 1970 dengan jumlah penduduk hanya ribuan orang. Ketika dikembangkan menjadi Daerah Ekonomi Khusus (DEK) pada tahun 1980, kota ini berubah menjadi Kota Industri. Konon Shenzhen City dibangun untuk menyaingi Hong Kong yang pada waktu itu masih berada di bawah Pemerintahan Inggris. Faktor utama kemajuan Shenzhen yang sangat pesat adalah kebijakan  "reformasi dan keterbukaan " di akhir 1979 oleh pemerintahan China, yang memungkinkan investasi asing. Shenzhen kini dianggap salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Dikenal juga sebagai ibukota teknologi China, karena di kota inilah berbagai macam teknologi berkembang, termasuk teknologi IT. 

Karena begitu cepatnya China membangun Shenzhen di tahun 1990-an, Shenzhen digambarkan dengan perumpamaan membangun,"Satu highrise sehari dan satu boulevard setiap tiga hari". Kalau di Indonesia, pembangunan Shenzhen itu ibarat kisah Roro Jonggrang yang membangun 1000 candi dalam semalam.

Shenzhen After Construction Boom

Anjing Pun Disiplin 

Kesan pertama ketika tiba di Shenzhen adalah kita masuk ke kota di Asia yang modern dan disiplin. Mirip dengan Singapura, pada umumnya trotoar di jalan raya ini lebarnya bisa untuk dua bus berpapasan.
Pastinya di sini tidak ada pedagang kaki lima berderet yang mengganggu pejalan kaki. Yang ada adalah para pejalan kaki dan pesepeda, dan beberapa pedagang buah di beberapa sudut yang jumlahnya sangat terbatas (pasti diatur dengan ketat oleh pemerintah kota).
Sewa sepeda, tinggal scan barcode via Hp. 

Nah ini yang menarik, sepanjang jalan banyak sepeda diparkir. Ini adalah sepeda sewa yang bisa dipakai siapa saja dan diparkir di trotoar jalan . Seorang karyawan dari rumah tinggal naik MRT dan dari stasiun MRT menuju kantor bisa sewa sepeda ontel atau sepeda listrik/motor listrik.

Sewa sepeda ini semuanya dengan menggunakan aplikasi. Pengguna tinggal scan barcode dengan telepon seluler dan sepeda langsung bisa diaktifkan. Pembayaran ya jelas pakai uang virtual juga. 

Pedagang buah di pinggir jalan

Ini bukan hanya berlaku di sepeda tapi juga untuk naik kereta, belanja di toko maupun makan di warung. Anak-anak Tiongkok tampaknya kini tak ada yang bawa uang tunai. 

Namun jangan harap Anda bisa naik taksi dan ojek online bermerk Grabcar atau Gojek . Anda juga tidak bisa buka medsos facebook, whattapps, atau instagram atau mesin pencari google. Masyarakat di sini wajib menggunakan media internet buatan lokal, antara lain WeChat untuk medsos dan aplikasi pembayaran dan Baidu untuk mesin pencari yang mirip google.

Sebagian besar restoran juga tidak menerima pembayaran kartu kredit berlogo visa atau mastercard (yang dijanjikan penerbitnya bisa dipakai di seluruh dunia). Kartu kredit juga harus buatan lokal. Saya simpulkan, pemerintah China mendorong rakyatnya menggunakan buatan dalam negeri termasuk dalam bermedsos dan berbelanja dengan kartu kredit. 
Salah satu pusat belanja di Shenzhen

Untungnya kami rombongan Indonesia masih diperbolehkan membeli paket data asal Indonesia (telkomsel, indosat, xl dan yang lainnya) dan ternyata setelah beli paket data Indonesia kami bisa berkomunikasi antar anggota rombongan maupun keluarga di Indonesia dengan aplikasi whattapps dan bisa share foto dan berita di facebook dan instagram. Jadinya kami tetap bisa mencintai produk Indonesia, eh bukan ya, ini produk Amerika hehe. Wi-fi gratis dari hotel tidak dimanfaatkan, karena berpotensi wa langsung non aktif.

Karena kartu kredit nggak laku, sepanjang 3 hari di Shenzhen tampaknya yang bawa duit mata uang Yuan tunai hanya para turis saja, termasuk rombongan saya.

Kesan lainnya adalah kedisiplinan warga setempat. Di malam hari seekor anjing berjalan sendirian, sampai di lampu merah dia berhenti. Ketika lampu hijau menyala , anjing itu langsung menyeberang jalan. Sungguh ini pemandangan yang menakjubkan, seekor anjing pun sudah dilatih untuk patuh pada rambu lalu lintas.
Trotoar yang luas

Jika anjing saja bisa disiplin, tentu saja warga setempat juga disiplin. Yang agak kurang mengasyikan adalah sepeda di sini justru tidak mengikuti rambu lalu lintas. Ia bebas menyelinap di tengah kerumunan atau lalu lalang manusia. Mereka berjalan di sepanjang trotoar.  Sepeda maupun sepeda motor semuanya tidak terdengar suaranya, karena menggunakan energi listrik. Begitupun taksi, mobil pribadi, bus kota tak ada satupun yang mengeluarkan asap. Kota ini menjadi bersih meskipun padat.

Dengan penduduk sebanyak 12,5 juta, Shenzhen memang cukup ramai, tapi tidak mengalami kemacetan parah sebagaimana Jakarta. Kota ini dirancang secara futuristik, sehingga segala pergerakan manusia sudah difasilitasi dengan angkutan umum yang murah.
MRT di Shenzhen, mirip dengan MRT Jakarta

Menggunakan MRT dari lokasi pameran ke pusat perbelanjaan Dong Men hanya 3 Yuan atau sekitar Rp. 6.000 saja. MRT nya juga tidak terlalu padat, setidaknya ketika saya mencoba menjajal angkutan umum tersebut.

Hanya saja di daerah ini jarang sekali orang bisa berbahasa Inggris. Kerap kali untuk naik taksi harus menggunakan "bahasa Tarzan". Selain kesulitan bahasa, juga belum tentu mereka bisa membaca huruf latin. Maka jika anda jalan jalan, sebaiknya minta kartu nama hotel yang biasanya ada huruf Latin dan China, sehingga jika balik lagi ke hotel tinggal menunjukan kartu nama hotel kepada supir taksi.

Di sini lalu lintas dan kendaraan menggunakan aturan Amerika, dengan setir kiri. Maka hati-hati tengok kiri kanan kalau menyeberang di lokasi yang tidak ada jembatan penyeberangan.

Untuk colokan listrik, sebagaimana kalau kita ke luar negeri sebaiknya siapkan colokan 3 lubang, supaya anda nggak bingung saat  mengisi batere (charge) hp.

Shenzhen Pet Fair Tampilkan Potensi Bisnis Negara Mitra


Salah satu sudut Shenzhen Pet Fair
Shenzhen Internasional Pet Supplies Exhibition (Shenzhen Pet Fair)  berlangsung di sebuah convention hall di pusat kota. Kami menginap di Vienna Hotel yang jaraknya hanya 4 km dari lokasi. Penyelenggara menyediakan shuttle bus gratis untuk berjalan dari hotel ke lokasi pameran. Di hotel ini juga ada rombongan dari Malaysia (dan mungkin ada dari negara lain) 

Pameran ini kabarnya merupakan pameran Pet terbesar no 2 atau 3  di China. Dari laporan penyelenggara, pameran ini baru yang kelima kalinya, namun pertumbuhan peserta maupun pengunjung sangat pesat. CEO Shenzhen Pet Fair Steven Song, saat saya tanya suasana hari pertama , sangat optimis bisa mendatangkan 100 ribu pengunjung selama 4 hari pameran (2-5 mei) sebagaimana yang ditargetkan.
Delegasi Indonesia

"Kemarin hari pertama tercatat 30 ribu pengunjung, padahal untuk hari pertama dan kedua untuk B to B (Business to Business) jadi saya yakin sampai hari minggu 5 Mei bisa 100 ribu pengunjung , Sabtu Minggu biasanya pengunjung membludak, karena dibuka untuk umum," ujarnya sembari tersenyum bangga ketika saya temui di lokasi pameran di hari kedua.

Tidak lupa ia menyampaikan terima kasih atas kehadiran rombongan dari Indonesia, dan pihaknya siap berkunjung ke Indonesia di Pameran Pet bulan Agustus di ICE BSD.

Dari acara yang berlangsung, saya menangkap kreativitas di saat opening ceremony. Di sini acara pembukaan tidak menghadirkan para pejabat setingkat Dirjen atau Menteri sebagaimana di Indonesia. Para exhibitor tidak begitu peduli dengan kehadiran pejabat, yang penting pengunjung pameran sesuai target, baik jumlah maupun profil.


Kreativitas yang saya tangkap adalah, pada saat opening, pihak penyelenggara memberikan presentasi kinerja pameran, perkembangan dari tahun ke tahun. Setelah itu disusul presentasi dari negara mitra, dalam hal ini Thailand, Malaysia dan Indonesia. Ketiga negara ini menyampaikan perkembangan pet industry di negara masing-masing. Indonesia diwakili oleh Drh. Rijanti, praktisi dokter hewan senior, dan Didit Siswodwiatmoko, CEO IIPE.

Dengan menampilkan profil tersebut, para peserta pameran (exhibitor) memberikan apresiasi atas capaian perkembangan pameran dan dapat melihat peluang pasar di negara lain khususnya wilayah ASEAN.

Menurut penyelenggara, pasar hewan kesayangan di Asia berkembang dengan kecepatan yang luar biasa. Pada 2017, pasar industri hewan kesayangan China mencapai 134 miliar yuan, dengan tingkat pertumbuhan industri sebesar 30,9%/tahun. Diperkirakan market akan melampaui 200 miliar yuan pada 2019 (lebih dari Rp 400 triliun, dengan asumsi 1 Yuan = Rp, 2.200)
Dengan pertumbuhan pet industry di ASEAN, maka Asia menjadi pasar hewan peliharaan yang paling pesat di dunia. Tidak heran jika pameran Pet di negara China bertumbuh pesat. Ratusan pameran besar dan kecil berlangsung di berbagai provinsi di negara China dalam setahun.

Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami pertumbuhan pesat di dunia bisnis hewan kesayangan. Setidaknya tampak dari adanya 2 pameran pet animal per tahun di  Jakarta (Indonesia International Pets Expo/IIPE dan Jakarta Indonesia Pets Show/JIPS) dan berbagai macam event lomba, kontes dan pameran di berbagai daerah.

Oya mengenai produk yang dipamerkan di event ini hampir sama dengan pameran di Indonesia, meliputi petfood, obat hewan, aksesoris hewan, peralatan peliharaan, permainan, teknologi digital. Bedanya di sini, hampir semua produk yang dipamerkan adalah produk dalam negeri China.

Begitulah catatan perjalanan saya ke Shenzhen, China. Silakan nikmati video Instagram tentang suasana Shenzhen City dan suasana pameran karya Alexander Aditya Darma yang ikut dalam rombongan kami. Semoga bermanfaat. ***

Terima kasih atas foto-foto dari group wa Shenzhen Pet Fair Tour, khususnya kepada Pak Arman Hermawan, Pak Didit Siswodwiatmoko, Drh. Rajanti Fitriani, Drh. Rusminie, Pak Lamhot Simanungkalit, Pak Aditya Darma, Pak Patria Sandi, Pak Ricky.  

0 Comments:

Posting Komentar