MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

MENGAPA GRUP WA MENJADI TEGANG SAAT PILPRES?

Pada masa menjelang Pemilu banyak grup Whatsapp (WA) yang berubah menjadi grup perdebatan politik. Beberapa grup yang awalnya terbentuk untuk menyambung silaturahmi, berubah menjadi pemutus silaturahmi, gara-gara perbedaan pandangan politik. Ada yang diam-diam keluar dari grup karena merasa nggak nyaman, ada juga yang terang-terangan berbeda pendapat  lalu  keluar karena menrasa tidak nyaman. Lantas grup didominasi oleh kelompok yang satu pandangan politik saja. Itu terjadi 5 dan 10 tahun lalu. Apakah ini akan terulang?

Berikut ini fakta yang layak kita renungkan:

  1. Seorang pakar pernah menyatakan bahwa pada umumnya manusia mencari informasi berdasarkan pandangan politik yang sudah diyakininya, bukan mencari info untuk menentukan pandangan politik. Ini artinya, masyarakat kita umumnya punya pilihan politik (presiden) terlebih dulu baru googling untuk memperkuat pendapatnya. Bukan   googling untuk menentukan pilihan politik.
  2. Berdasarkan analisa di atas, saya jadi lebih mengerti kenapa pandangan politik seseorang menjadi sedemikian kuat seiring waktu mereka  rajin mencari info di internet. Situasi ini sangat berbeda dengan era sebelum tahun 2000. Anda tahu , mesin google menyediakan semua informasi sesuai kebiasaan pengguna. Jika anda hari ini mencari sepatu, besok anda buka youtube, google, fb, marketplace  dll, akan muncul penawaran berbagai macam sepatu . Demikian pula orang yang sudah punya pandangan memilih satu Capres, maka otomatis akan ketemu dengan info positif tentang Capres pilihannya dan dengan mudah menemuka info negatif tentang Capres yg bukan pilihannya. Google "menyediakan" info positif negatif masing-masing Capres.
  3. Upaya berdebat untuk mempengaruhi orang yang sudah punya pandangan politik tertentu, nyaris sia-sia karena pada umumnya orang tidak mau disalahkan, apalagi dipojokkan dengan bermacam label yang secara normatif terdengar tidak sopan. Lagi pula semua orang sudah punya argumen untuk mempertahankan pandangan politiknya. Seandainya belum punya, dengan mudah bisa dicari di internet. Mau soal utang luar negeri, pembangunan infrastruktur, pemindahan ibu kota dll semuanya ada argumen pro kontranya. Jadi apa manfaatnya berdebat di ruang yang sebenarnya ditujukan untuk mempererat tali persaudaraan? Lebih bijak mempengaruhi orang lain yang jauh dari hiruk pikuk internet, bukan di grup keluarga atau alumni.
  4. Setiap orang punya tipe berpikir dan berperasaan yang berbeda-beda, ada tipe struktural, analitis, sosial, konseptual (tipe berpikir berdasarkan ilmu psikometric Emergenetics). Ungkapan  kata “kalau nggak cocok delete saja” atau “mari berpikir secara logis” adalah ungkapan orang bertipe struktural yang tidak bisa diterima oleh tipe berpikir sosial.
  5. Berkampanye dengan menjelekkan Capres lain, tidak cocok untuk masyarakat Indonesia khususnya yang pola pikirnya bertipe sosial . Cara ini sulit berfungsi menambah suara, tapi lebih berperan untuk memuaskan nafsu politik saja . Hmm, inilah kenapa dalam satu grup, jika satu orang melempar info negatif tentang satu pihak, bisa disambut suka cita oleh teman yang satu pandangan dengan memperkuat argumen logis dan "ilmiah"
  6. Secara umum manusia memilih Capres bukan menggunakan logika, tapi melalui persepsi yang diterima otak/hati. Sama halnya Anda membeli kopi yang mahal , itu bukan pakai logika. (Anda yang orang marketing pasti paham)
  7. Uniknya, fakta yang saya temui di kalangan praktisi politik jauh berbeda dengan obrolan di grup Whatsapp. Tokoh politik yang di publik seperti bermusuhan, faktanya hubungan mereka biasa-biasa saja. Mungkin Konsultan politik atau tim media yang mengharuskan mereka agar terkesan berseberangan demi kepentingan persaingan merebut suara. Di atas mereka bersaing biasa sebagaimana pertandingan olah raga, di bawah seperti sebuah peperangan. Jadi tidak usah heran , politisi yang lima tahun lalu seperti bermusuhan, tahun ini berkawan akrab, Pun demikian, yang sekarang sedang berseberangan, tak usah kaget kalau nantinya bergabung dalam satu kelompok.
  8. Sekarang coba bayangkan, jika Pilpres tahun 2024 berlangsung 2 putaran, maka satu Capres akan berkoalisi dengan Capres lain yang tadinya berseberangan. Orang di grup WA yang tadinya menjelek-jelekan Capres A, perlu "menyesuaikan diri" karena Capres tersebut mungkin bergabung dalam satu koalisi di putaran kedua.

Sebagai penutup, saya sampaikan ungkapan dari Ridwan Kamil (harap dikoreksi jika keliru). Katanya, ada 3 kelompok orang yang sangat sulit diberi nasehat. Pertama orang yang sedang mabok minuman, kedua, orang yang sedang mabok cinta. Ketiga, orang yang sudah punya pilihan Capres (kategori mabok juga kali ya hehehe)

Gimana pendapat Anda ?

Salam sukses

Bambang Suharno  


1 komentar: