MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

Sikapmu Menentukan Kesuksesanmu

Teruslah belajar, bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan teknis, tapi agar bisa memiliki sikap yang lebih baik.

Jalan-jalan di kota Teknologi Shenzen, China

Perjalanan ke kota Teknologi Shenzen, China, 1 Mei 2019 dalam rangka Shenzen International Pet Fair.

Launching buku Menggali Berlian di Surabaya

Buku Menggali Berlian di Kebun Sendiri karya Bambang Suharno diluncurkan di acara Grand City Convex Surabaya, di tengah acara pameran internasional Indolivestock Expo.

Meraih sukses

Jika sukses harus diraih dengan kerja keras banting tulang siang malam, itu namanya sukses dengan mesin manual. Anda perlu belajar meraih sukses dengan mekanisme sukses otomatis (Suksesmatic.com).

Pengalaman Naik Kereta TGV di Perancis

Perjalanan ke Rennes Perancis dalam rangka menghadiri pameran internasional, naik kereta TGV dari Paris ke Rennes.

KIAT BISNIS

Hukum Kelaziman (dari buku Jangan Pulang Sebelum Menang)

Hukum Kelaziman
Cobalah sekali waktu anda bertanya ke orang di sudut jalan kota Jakarta, “dimanakah letak Komdak?”. Hampir semuanya akan segera menunjuk sebuah tempat bertuliskan Polda Metro Jaya yang berlokasi di dekat Jembatan Semanggi.
Jangan kecewa, di sana tidak ada tulisan Komdak. Komdak itu sendiri entah nama apa, mungkin dulunya bernama Komando Daerah Kepolisian disingkat Komdak. Begitu melekatnya nama Komdak, penduduk Jakarta sudah tidak peduli lagi dengan pergantian nama. Bahkan singkatan Komdak pun jarang yang tahu, termasuk saya.
Perubahan nama Komdak menjadi Polda tentunya punya maksud baik. Tapi dalam kehidupan masyarakat, termasuk dunia bisnis, ada semacam hukum dimana yang sudah terbiasa dipakai konsumen, itulah yang dianggap benar. Kita menyebutnya kelaziman.
Tanadi Santoso, seorang konsultan bisnis, punya cerita menarik mengenai keyboard  komputer (lihat www.tanadisantoso.com). Suatu hari anaknya bertanya, ”Pap, keyboardnya komputer ini kok ngatur ’abc’-nya seperti ini ? Kok bisa susunannya ’qwerty’. Bukankah ’a’ seharusnya di sebelah sini bukan di sebelah sana. Mengapa ?”

Pertanyaan tersebut bisa jadi mewakili pertanyaan saya dan banyak orang, dimana sebelumnya saya tidak dapat menemukan jawabannya. Pernah saya ditanya hal yang sama, jawaban saya,” ini kemungkinan merupakan hasil kesepakatan internasional” (jawaban orang dewasa supaya tidak kelihatan bego hahaha).

Menurut Tanadi, dulu pada saat belum ada komputer, orang mengetik menggunakan mesin ketik. Mesin mekanikal yang butuh dorongan tenaga dari jari-jari kita. Kalau ditekan 2 huruf sama cepatnya sering nyantol. Kalau huruf-huruf ditata sedemikian gampang ditekan dengan jari telunjuk, apa yang akan terjadi ? Orang akan mengetik terlalu cepat menjadikan mesin tiknya cepat rusak. Sehingga untuk membuat supaya lebih lambat, sengaja dibuat sulit. Sengaja dibuat tidak enak agar mengetiknya perlahan-lahan.

Dan menariknya setelah ditemukan komputer, keyboardnya tetap mengikuti pola mesin ketik. Meski ditemukan cara penyusunan huruf yang baru, sehingga bisa lebih enak lagi, bisa lebih cepat lagi, tapi tetap saja orang-orang akan memakai susunan ’qwerty’ ini. Karena apa ? Karena sudah menjadi kebiasaan orang. Karena semua orang sudah lazim memakai cara ini. Semua orang sudah belajar tentang cara yang ini.

Kisah Komdak maupun keyboard komputer hakekatnya sama. Yang sudah lazim dipakai masyarakat itulah yang mendominasi masyarakat, dalam bahasa bisnis, dikatakan mendominasi pasar. Dari kisah ini kita dapat melihat bahwa sebuah hal yang baik belum tentu paling banyak dipakai oleh orang. Kalau anda masih ingat jaman video dulu, ada dua jenis video yang saling bersaing, yaitu Betamax vs VHS. Betamax secara teknologi lebih kecil, lebih bagus, lebih canggih, tapi VHS lebih mendunia. Kenapa ? Karena VHS keluar lebih dulu dan lebih diterima orang-orang.

Software pun juga sama. Kenapa semua orang pakai Microsoft Office ?
Karena orang lain pakai ini semua. Ini menjadi sebuah kebiasaan. Maka kita harus sadar bahwa yang paling laku, paling sukses belum mesti sesuatu yang paling bagus. Bahwa secara logis ”yang terbaik adalah yang berhak atas kesuksesan” itu memang benar, tapi kenyataan berbicara berbeda.

Jadi "qwerty" keyboard bukanlah cara menulis terbaik, tapi mempunyai hak untuk mendapatkan "kesuksesan" seperti sekarang. Karena alasan lebih dulu terpakai orang, sehingga orang menjadi malas mengubahnya.
Dan ternyata semua orang di dunia memakai ini semua. pi

Istilah Komdak juga menjadi nama “resmi” masyarakat karena nama itulah yang lebih dulu populer. Meski diganti nama berkali-kali, yang berhak populer adalah nama Komdak, bukan yang lain. Bila anda menjadi Kapolri pun, tidak usah repot memaksa masyarakat menggunakan istilah baru, karena akan menghabiskan energi dan biaya yang tidak sedikit.

Kisah tentang kelaziman ini adalah kabar baik buat siapa saja yang tidak termasuk yang terbaik, dan buat pengusaha yang produknya bukan yang terbaik. Terbukti, tidak semua orang menjadi hebat karena yang terbaik, tidak semua produk yang laris yang paling bermutu, tidak semua yang paling baik dan paling murah otomatis paling laku dan tidak semua orang sukses adalah yang paling pintar di sekolah.

Kita dapat menyebut hal ini dengan kata-kata, banyak hal yang tidak adil dalam kehidupan ini (biasanya yang berbicara demikian adalah mereka yang merasa sudah melakukan yang terhebat tapi kalah dibanding yang lain yang biasa saja). Namun dalam pandangan positif, bahwa kehidupan ini menjadi sesuatu yang menarik justru karena banyak hal yang sulit kita tebak. Hasil riset motivasi pun membuktikan bahwa seseorang akan termotivasi melakukan sesuatu secara optimal apabila hasil akhirnya punya kemungkinan sukses dan gagalnya masing-masing 50%. Jika kemungkinan berhasil hanya 1%, seorang akan malas melakukan tindakan mencapai target. Demikian sebaliknya, jika kemungkinan berhasilnya 100%, dia juga kurang termotivasi karena bekerja tanpa keringat pun dia pasti mampu mencapainya.

Pesan lain yang bisa kita ambil dari cerita ini adalah bahwa untuk hebat luar biasa ternyata tidak harus selalu menjadi sesuatu yang paling berbeda dan luar biasa sebagaimana sering kita dengar, namun  dapat juga dengan menjadi atau menciptakan sesuatu yang lazim, yang diterima banyak orang. Lazim itu sendiri adalah sesuatu yang biasa, sesuatu yang mudah dipakai orang, dan itu tidak berarti harus canggih.***

Hukum Kelaziman (dari buku Jangan Pulang Sebelum Menang)

Hukum Kelaziman
Cobalah sekali waktu anda bertanya ke orang di sudut jalan kota Jakarta, “dimanakah letak Komdak?”. Hampir semuanya akan segera menunjuk sebuah tempat bertuliskan Polda Metro Jaya yang berlokasi di dekat Jembatan Semanggi.
Jangan kecewa, di sana tidak ada tulisan Komdak. Komdak itu sendiri entah nama apa, mungkin dulunya bernama Komando Daerah Kepolisian disingkat Komdak. Begitu melekatnya nama Komdak, penduduk Jakarta sudah tidak peduli lagi dengan pergantian nama. Bahkan singkatan Komdak pun jarang yang tahu, termasuk saya.
Perubahan nama Komdak menjadi Polda tentunya punya maksud baik. Tapi dalam kehidupan masyarakat, termasuk dunia bisnis, ada semacam hukum dimana yang sudah terbiasa dipakai konsumen, itulah yang dianggap benar. Kita menyebutnya kelaziman.
Tanadi Santoso, seorang konsultan bisnis, punya cerita menarik mengenai keyboard  komputer (lihat www.tanadisantoso.com). Suatu hari anaknya bertanya, ”Pap, keyboardnya komputer ini kok ngatur ’abc’-nya seperti ini ? Kok bisa susunannya ’qwerty’. Bukankah ’a’ seharusnya di sebelah sini bukan di sebelah sana. Mengapa ?”

Pertanyaan tersebut bisa jadi mewakili pertanyaan saya dan banyak orang, dimana sebelumnya saya tidak dapat menemukan jawabannya. Pernah saya ditanya hal yang sama, jawaban saya,” ini kemungkinan merupakan hasil kesepakatan internasional” (jawaban orang dewasa supaya tidak kelihatan bego hahaha).

Menurut Tanadi, dulu pada saat belum ada komputer, orang mengetik menggunakan mesin ketik. Mesin mekanikal yang butuh dorongan tenaga dari jari-jari kita. Kalau ditekan 2 huruf sama cepatnya sering nyantol. Kalau huruf-huruf ditata sedemikian gampang ditekan dengan jari telunjuk, apa yang akan terjadi ? Orang akan mengetik terlalu cepat menjadikan mesin tiknya cepat rusak. Sehingga untuk membuat supaya lebih lambat, sengaja dibuat sulit. Sengaja dibuat tidak enak agar mengetiknya perlahan-lahan.

Dan menariknya setelah ditemukan komputer, keyboardnya tetap mengikuti pola mesin ketik. Meski ditemukan cara penyusunan huruf yang baru, sehingga bisa lebih enak lagi, bisa lebih cepat lagi, tapi tetap saja orang-orang akan memakai susunan ’qwerty’ ini. Karena apa ? Karena sudah menjadi kebiasaan orang. Karena semua orang sudah lazim memakai cara ini. Semua orang sudah belajar tentang cara yang ini.

Kisah Komdak maupun keyboard komputer hakekatnya sama. Yang sudah lazim dipakai masyarakat itulah yang mendominasi masyarakat, dalam bahasa bisnis, dikatakan mendominasi pasar. Dari kisah ini kita dapat melihat bahwa sebuah hal yang baik belum tentu paling banyak dipakai oleh orang. Kalau anda masih ingat jaman video dulu, ada dua jenis video yang saling bersaing, yaitu Betamax vs VHS. Betamax secara teknologi lebih kecil, lebih bagus, lebih canggih, tapi VHS lebih mendunia. Kenapa ? Karena VHS keluar lebih dulu dan lebih diterima orang-orang.

Software pun juga sama. Kenapa semua orang pakai Microsoft Office ?
Karena orang lain pakai ini semua. Ini menjadi sebuah kebiasaan. Maka kita harus sadar bahwa yang paling laku, paling sukses belum mesti sesuatu yang paling bagus. Bahwa secara logis ”yang terbaik adalah yang berhak atas kesuksesan” itu memang benar, tapi kenyataan berbicara berbeda.

Jadi "qwerty" keyboard bukanlah cara menulis terbaik, tapi mempunyai hak untuk mendapatkan "kesuksesan" seperti sekarang. Karena alasan lebih dulu terpakai orang, sehingga orang menjadi malas mengubahnya.
Dan ternyata semua orang di dunia memakai ini semua. pi

Istilah Komdak juga menjadi nama “resmi” masyarakat karena nama itulah yang lebih dulu populer. Meski diganti nama berkali-kali, yang berhak populer adalah nama Komdak, bukan yang lain. Bila anda menjadi Kapolri pun, tidak usah repot memaksa masyarakat menggunakan istilah baru, karena akan menghabiskan energi dan biaya yang tidak sedikit.

Kisah tentang kelaziman ini adalah kabar baik buat siapa saja yang tidak termasuk yang terbaik, dan buat pengusaha yang produknya bukan yang terbaik. Terbukti, tidak semua orang menjadi hebat karena yang terbaik, tidak semua produk yang laris yang paling bermutu, tidak semua yang paling baik dan paling murah otomatis paling laku dan tidak semua orang sukses adalah yang paling pintar di sekolah.

Kita dapat menyebut hal ini dengan kata-kata, banyak hal yang tidak adil dalam kehidupan ini (biasanya yang berbicara demikian adalah mereka yang merasa sudah melakukan yang terhebat tapi kalah dibanding yang lain yang biasa saja). Namun dalam pandangan positif, bahwa kehidupan ini menjadi sesuatu yang menarik justru karena banyak hal yang sulit kita tebak. Hasil riset motivasi pun membuktikan bahwa seseorang akan termotivasi melakukan sesuatu secara optimal apabila hasil akhirnya punya kemungkinan sukses dan gagalnya masing-masing 50%. Jika kemungkinan berhasil hanya 1%, seorang akan malas melakukan tindakan mencapai target. Demikian sebaliknya, jika kemungkinan berhasilnya 100%, dia juga kurang termotivasi karena bekerja tanpa keringat pun dia pasti mampu mencapainya.

Pesan lain yang bisa kita ambil dari cerita ini adalah bahwa untuk hebat luar biasa ternyata tidak harus selalu menjadi sesuatu yang paling berbeda dan luar biasa sebagaimana sering kita dengar, namun  dapat juga dengan menjadi atau menciptakan sesuatu yang lazim, yang diterima banyak orang. Lazim itu sendiri adalah sesuatu yang biasa, sesuatu yang mudah dipakai orang, dan itu tidak berarti harus canggih.***

Jangan Pulang Sebelum Menang


Jangan Pulang Sebelum Menang

Alkisah, Julius Caesar, sang panglima perang kerajaan Romawi yang legendaris, mendapat tugas untuk merebut dan menduduki kerajaan Inggris, Kerajaan Britania Raya, dalam program ekspansi ke Benua Eropa dan Afrika. Pada saat itu kerajaan Inggris sangat kuat dan disegani. Semboyannya sangat terkenal; British Rule the wafes. Orang Inggris memerintah ombak, menguasai lautan.

Julius Caesar membawa ribuan pasukan menyeberangi lautan dengan menggunakan ratusan kapal perang. Sebagai ahli strategi yang handal, sebelum berangkat Julius Caesar mengirim sekelompok mata-mata untuk mengumpulkan informasi mengenai musuhnya. Laporan hasil pengintaian menunjukan, jumlah prajurit Inggris jauh lebih banyak dibanding prajurit Romawi, persenjataan mereka jauh lebih lengkap dan modern, kondisi fisik mereka jauh lebih segar dibanding prajurit Romawi yang sudah berminggu-minggu berada di atas lautan, dan-sudah pasti-pasukan Inggris lebih mengenal medan perang dibanding prajurit Romawi.

Tak ada satu faktor pun yang bisa mendorong Julius Caesar untuk terus maju. Namun bukan Julius Caesar namanya kalau menyerah begitu saja. Semboyannya adalah vini, vidi, vici. Saya datang, saya berjuang, saya menang. Julius Caesar mengambil keputusan yang mengguncang dunia. Dia tidak memerintahkan pasukan untuk mundur, tapi justru memerintahkan perwira-perwiranya untuk membakar semua kapal perang tanpa menyisakan satu sekoci pun. Setelah itu ia kobarkan semangat juang prajuritnya, yang memang terkenal gagah berani.

Dengan menciptakan situasi seperti itu, dalam benak setiap prajurit sudah terbangun tekad membaja untuk berjuang habis-habisan. Karena hanya itulah satu-satunya pilihan. Pilihan untuk kembali ke Roma, sudah musnah bersama dengan hangusnya kapal perang mereka. Itu sebabnya pasukan Romawi bertempur dengan gagah berani, melumpuhkan setiap musuh yang ada di hadapan mereka. Dan akhirnya pasukan Romawi mampu memenangkan pertempuran.

”Jangan pulang sebelum menang,” kata seorang rekan  yang hidup merantau di Jakarta dengan hanya berbekal ijazah SMP. Petuah ini bukan soal peperangan melainkan soal kehidupan di tanah rantau. Ia menjelaskan, meski bekal pendidikan sangat minim, tapi ia tidak mau numpang tua di kota besar. Determinasinya yang kuat, tujuan yang jelas dan tekad yang bulat memancarkan energi semangat yang sangat besar. Meski ia tidak tahu siapa Julius Caesar, tampak sekali bahwa spiritnya tak jauh beda dengan spirit Julius Caesar di medan perang.

Tekad dan keputusan yang bulat mampu mengalahkan banyak hambatan misalkan pendidikan rendah, keluarga miskin, dari suku atau bangsa tertentu dan hambatan psikologis lainnya. Tekad bulat seorang berpendidikan rendah akan mampu mengalahkan tekad biasa dari seorang berpendidikan tinggi. Tak usah saya sebut, pasti anda dapat melihat banyak contoh di sekeliling anda.
Dalam dunia bisnis, kisah Julius Caesar menginspirasi Nur Kuntjoro, seorang tokoh bisnis yang dikenal mampu merubah perusahaan rugi menjadi perusahaan yang meraih laba besar.

Karir profesionalnya dimulai di bidang advertising sebuah perusahaan mesin jahit, kemudian ke perusahaan farmasi, perusahaan direct selling dan beberapa perusahaan lainnya. Saat memimpin Tupperware Indonesia, ia berhasil membuat perusahaan tumbuh 222 persen, justru pada saat krisis moneter melanda Indonesia. Di perusahaan ini ia dijuluki Record Breaking Leader karena selalu berhasil memecahkan rekor penjualan. Selama 8 tahun memimpin perusahaan Direct Selling tersebut, ia berhasil meningkatkan penjualan perusahaan 8 kali lipat dan tidak pernah merugi. Bahkan kerugian kumulatif selama 6 tahun sebelum masa kepemimpinannya berhasil ditutup dengan keuntungan selama 18 bulan.

Keberhasilan yang dicapai Nur Kuntjoro dalam dunia bisnis disebut sebagai turnaround yaitu proses perbaikan kinerja perusahaan dari kecenderungan menurun menjadi menanjak, dan dari posisi merugi menjadi meraih laba. Dalam bukunya yang berjudul Thinking Out of The Box For Profit, Nur Kuntjoro mengatakan, turnaround bukanlah masalah finansial semata, melainkan juga soal komitmen dan leadership.

Nur Kuntjoro memberi contoh kisah Lee lacocca yang mampu merubah situasi buruk menjadi situasi luar biasa dalam sebuah perusahaan. Lee Lacocca, seorang eksekutif yang sudah mengabdikan dirinya selama 32 tahun di perusahaan mobil Ford, suatu hari dipecat yang cara yang menyakitkan.

Untunglah, suatu hari perusahaan mobil Chrysler yang saat itu tengah porak poranda menawarkan kepada Lee untuk bergabung menjadi pemimpin. Tanpa pikir panjang, ia menerimanya.

Pada bulan-bulan pertama ia bukan berfokus pada bagaimana meningkatkan penjualan, melainkan pada upaya meningkatkan team building.  Ia mulai gebrakannya dengan mengumpulkan semua staf dan secara tegas menekankan pentingnya komitmen. Tanpa basa basi ia minta agar staf yang tidak punya komitmen sebaiknya tidak usah bekerja di Chrysler. Ia juga meminta kepada semua staf untuk dapat bekerja lebih keras sampai larut malam dan esok paginya bekerja lagi tanpa tambahan imbalan. Staf yang tidak bersedia diminta untuk mengundurkan diri. Sejak itu beberapa karyawan harus di-PHK. Ia memilih bekerja dengan tim yang kecil namun solid dan berdedikasi tinggi.

Sayangnya beberapa tahun kemudian kondisi keuangan Chrysler semakin memburuk. Kali ini ia memutuskan untuk memotong gajinya menjadi 1 dolar setahun sampai Chrysler bisa menciptakan laba. Melalui cara ini ia dapat melakukan negosiasi agar serikat pekerja menyetujui pemotongan gaji karyawan.

Keputusannya yang berat ini membuahkan hasil. Bersama timnya yang tangguh, Lee Lacocca berhasil merubah Chrysler yang nyaris bangkrut menjadi sehat dan besar. Bahkan akhirnya Chrysler berhasil merger dengan raksasa otomotif produsen Mercedez Benz, menjadi Daimler Chrysler.

Julius Caesar, Lee Laccoca maupun Nur Kuntjoro  mampu merubah situasi buruk menjadi sebuah kemenangan gemilang. Kuncinya adalah tekad yang bulat untuk meraih kegemilangan. Atau dengan kata lain ”jangan pulang sebelum menang”. *** 


Dikutip dari buku terbaru saya "Jangan Pulang Sebelum Menang"