Bulan
Januari 2013 lalu saya beruntung mendapat kesempatan annual meeting dan jalan-jalan
bersama seluruh karyawan PT Gallus Indonesia Utama ke Singapura. Ini adalah
peristiwa penting bagi kami, karena inilah yang pertama kali sebuah perusahaan
mengajak seluruh karyawan mulai dari office
boy hingga direksi bahkan komisaris berkumpul di negara tetangga yang
terkenal maju, bersih, disiplin serta penduduknya berpendapatan tinggi.
Singapura
adalah Negara dengan pendapatan perkapita tertinggi no 8 di dunia dengan
pendapatan per kapita sebesar $ 49,700. Data yang saya peroleh menunjukkan 10
besar Negara dengan pendapatan tertinggi diduduki oleh Qatar di urutan teratas
dengan pendapatan per kapita $ 80,900, disusul dengan Luxembourg $ 80,500,
Bermuda $ 69,900 , Jersey $ 57,000 , Malta $ 53,400 , Norway $ 53,000 , Brunei
$ 51,000, Singapore $ 49,700, Cyprus $ 46,900 dan Amerika Serikat $ 45,800.
Negara termiskin adalah Zimbabwe berada di urutan 229 dengan pendapatan per
kapita hanya $ 200. Sedangkan Indonesia berada di urutan 158 dengan pendapatan per kapita $ 3,700.
Anda
boleh membayangkan betapa bahagianya hidup di Qatar dengan pendapatan per orang
80.900 dollar atau sekitar Rp 730 juta per orang per tahun (per orang, bukan
per keluarga lho) atau hidup sebagai warga Singapura dengan pendapatan sekitar
Rp. 400 juta per orang per tahun (kalau satu keluarga 4 orang, silakan
dikalikan 4).
Namun faktanya pendapatan per kapita tidak berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan masyarakat.
Desember
2012 lalu Gallup, lembaga riset internasional,
merilis hasil survey mengenai persepsi kebahagiaan dari rakyat di 148 negara.
Hasilnya cukup mencengangkan. Negara yang selama ini dianggap sebagai negara
makmur, ternyata rakyatnya belum tentu bahagia. Malah negara-negara berkembang
di Amerika Latin dan Karibia seperti Panama, Paraguay, El Salvador, Venezuela
berada di peringkat atas sebagai negara yang rakyatnya bahagia.
Tingkat
kebahagiaan rakyat Indonesia berada di peringkat 19 dari 148 negara yang disurvey. Meskipun dari segi
pendapatan, Indonesia menduduki peringkat 158, namun dari segi tingkat
kebahagiaan masyarakat posisinya termasuk sangat baik, yaitu urutan 19. Hasil
survey Gallup menyebutkan 79% warga Indonesia merasa gembira hidup di negeri
tercinta. Jerman dan Perancis di urutan 47. Dan yang mengejutkan adalah Singapura
berada di peringkat 148, urutan paling bawah alias paling tidak bahagia .
Survei tersebut menunjukkan, hanya 46% warga Singapura yang menjawab merasa gembira dengan hidupnya. Survei dari Gallup ini juga mengatakan warga Singapura adalah warga yang memiliki emosi paling datar di dunia.
Pertanyaan survei sendiri mencakup apakah memiliki tidur yang cukup dan nyenyak, apakah sering tersenyum atau tertawa, apakah memiliki banyak kegembiraan dalam hidup, apakah ada waktu untuk berekreasi bersama keluarga dan sebagainya. Dan sepertinya warga Singapura yang termasuk berpendapatan tertinggi di dunia, dalam hidupnya terlalu banyak hal yang dipikirkan dan dikeluhkan sehingga merasa tidak banyak waktu untuk tidur, tidak bisa tertawa, bergembira dan berekreasi bersama keluarga.
Hasil survey ini mengatakan kepada kita bahwa uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Oleh karenanya warga Irak dan Afghanistan yang dilanda perang dan konflik berkepanjangan dalam urusan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan bisa mengalahkan singapura. Sebanyak 50% warga Irak dan 55% warga Afganistan menyatakan hidup mereka bahagia.
Bahkan berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Ipsos, perusahaan riset global, warga Indonesia merasakan kebahagiaan paling besar dibandingkan warga negara lain di dunia. Sebanyak 92% rakyat Indonesia menyatakan bahwa mereka “cukup bahagia” dan “sangat bahagia” hidup di Indonesia.
Melihat hasil survey ini, saya ingat dua hal penting. Pertama, bahagia adalah pertanda kita bersyukur. Jika anda berpenghasilan miliaran rupiah per tahun atau per bulan namun belum merasa bahagia, sangat mungkin anda belum mensyukuri apa yang anda peroleh. Anda boleh jadi sedang dikejar oleh ketakutan masa depan. Anda perlu pertanyakan lagi pada diri anda sendiri, sejatinya apa yang dicari selama ini. Apakah hanya sekedar mencapai target? Mampukah anda menikmati proses pencapaian target yang mungkin berliku-liku?
Kedua, terkadang kita begitu kecewa dengan situasi Indonesia. Namun begitu di luar negeri kita merasa begitu rindu suasana Indonesia, negara yang luas, indah dan beranekaragam karya budaya. Pantaslah jika saya disurvey mengenai kebahagiaan, akan menjawab “saya bahagia hidup di Indonesia”. Bagaimana dengan Anda?***
Bambang Suharno