Keyakinan yang hebat dapat
membuat orang biasa melakukan hal-hal luar biasa menakjubkan. Sebaliknya,
keyakinan yang salah bisa melumpuhkan potensi orang berbakat. (Adam Khoo)
Ada sebuah riset menarik mengenai keyakinan yang dilakukan oleh
Robert Merton, seorang professor Sosiologi dari Columbia University pada tahun 1957. Penelitian ini melibatkan
seorang guru yang diinstruksikan oleh profesor untuk mengajar di sebuah kelas
yang terdiri dari murid-murid berbakat. Guru itu tidak tahu bahwa sebenarnya
murid-murid yang ada di kelas tersebut bukanlah murid-murid berbakat melainkan murid
yang IQnya rendah dan berperilaku nakal, malas dan tidak sopan.
Ketika sang guru mulai mengajar, para murid mulai
berperilaku buruk, tidak mau belajar dan memberi respon kurang baik terhadap
guru. Namun karena guru itu yakin bahwa
murid-murid yang sedang ia ajar adalah murid berbakat, maka sebagai guru ia
berusaha melakukan koreksi diri terhadap metode mengajar. Ia berpikir “murid
berbakat perilakunya memang aneh, tidak mau belajar jika gurunya kelihatan
bodoh. Saya harus melakukan sesuatu agar mereka tertarik terhadap materi
pelajaran saya”.
Dengan berbekal ilmunya, ia mencoba melakukan inovasi teknik
mengajar agar murid-murid tertarik, mulai dari teknik games, tugas kelompok, membuat diskusi dan berbagai metoda lainnya
yang ia tahu.
Dengan keyakinan bahwa ia sedang berhadapan dengan murid
berbakat, guru tersebut sama sekali tidak memperlakukan murid sebagai anak
malas atau anak nakal. Jadi apa yang terjadi di kelas selalu dianggap sebagai
hal wajar. Guru tersebut tidak marah, justru lebih banyak tersenyum melihat
aneka perilaku aneh para murid.
Karena ia memberlakukan mereka sebagai murid berbakat, lambat
laun guru mulai mampu mengendalika situasi. Suasana kelas yang tadinya
berantakan tidak karuan, berubah menjadi kelas yang riang, penuh gairah.
Pada akhir tahun ajaran, nilai raport rata-rata murid di kelas
tersebut melonjak sangat tinggi. IQ
rata-rata mereka meningkat 20-30 poin.
Mengapa bisa terjadi demikian? Prof. Robert Merton
menyebutnya kejadian ini sebagai efek Pygmalion.
Ini adalah efek psikologis yang dapat merubah keyakinan menjadi kenyataan.
Hasil riset ini menjadi sangat berguna untuk banyak hal.
Bagi para orang tua, pesan dari hasil riset ini adalah; janganlah memperlakukan
anak anda sebagai anak yang malas dan bodoh, karena jika anda memperlakukan
seperti itu, maka anak anda bisa benar-benar menjadi bodoh. Sebaliknya jika
anda yakin bahwa anak anda adalah anak hebat, maka mereka kelak akan menjadi
orang hebat.
Banyak orang mengira bahwa para tokoh dunia yang dipandang
hebat memiliki kemampuan yang berlipat ganda dari orang biasa. Itu semua tidak
benar. Yang membuat mereka sangat hebat adalah keyakinannya yang mampu mengalahkan
keyakinan kebanyakan orang.
Wright
bersaudara, penemu pesawat terbang , sama sekali tidak memiliki keahlian luar
biasa di bidang aerodinamis . Mereka hanyalah tukang memperbaiki sepeda. Namun
karena keyakinannya itulah, membuat keluarga Wright terkenal seantero dunia
sebagai penemu pesawat terbang.
Demikian pula Mahatma
Gandhi, bukanlah berasal dari keluarga yang berpengaruh yang memungkinkan
ia membangun basis kekuatan untuk memerdekaan India. Ia hanya seorang
pengacara, yang dengan keyakinanannya yang sangat kuat, mampu meyakinkan
masyarakat India untuk membebaskan diri dari penjajahan.
Begitu pula Bung
Karno, Moh Hatta dan para
pejuang kemerdekaan. Apakah mereka memiliki kemampuan finansial yang memadai
untuk menyatukan para pemuda Indonesia yang menyebar di seluruh pesolok negeri?
Tidak sama sekali. Apakah mereka memiliki kekuatan angkatan perang? Juga tidak.
Sejak era kebangkitan nasional 1908 kemudian disusul Sumpah Pemuda 1928, mereka
meyakini betul Indonesia harus bebas dari penjajahan. Dengan keyakinan itulah,
mereka yang berasal dari berbagai penjuru nusantara dengan ratusan ragam bahasa
dapat menyatukan diri dalam berkomunikasi dengan menggunakan satu bahasa,
Bahasa Indonesia. Dan menyatakan diri satu tanah air dan satu bangsa yang
bernama Indonesia.
Selamat Memperingati Sumpah pemuda.***