Ilmu paling mendasar bagi calon
insinyur peternakan adalah segitiga produksi peternakan. Ibarat belajar
kenegaraan, segitiga produksi setara dengan
pancasila sebagai “dasar negara”. Artinya “dasar negara” bagi Republik Peternakan
adalah segitiga produksi.
Materi “dasar negara” ini demikian
sering diulang di berbagai matakuliah dan forum diskusi sehingga lama-lama banyak
yang menjadi bosan membahas materi ini. Sama
bosannya mendiskusikan Pancasila dalam berbagai Penataran P4 era orde baru. Para
dosen pun tampaknya menyampaikan pengetahuan ini secara normatif saja tanpa
menjiwai apalagi mengelaborasi dalam kondisi aktual negara Republik Peternakan
Indonesia.
Segitiga produksi menggambarkan
segitiga sama sisi yang merupakan aspek paling penting dalam budidaya
peternakan. Ketiga aspek tersebut adalah breeding
(pembibitan), Feeding (pakan) dan
manajeman (tatakelola usaha). Saya menyebutnya sebagai segitiga emas
peternakan.
Jika salah satu aspek nilainya
meningkat, maka aspek lainnya harus mengikuti. Misalkan dalam nilai genetik ternak ayam meningkat, maka
kualitas pakan juga harus meningkat dan manajemen pun harus lebih baik sesuai
nilai genetiknya. Sebaliknya, dengan pakan yang sebagus apapun dan pemeliharaan
yang paling hebat pun, jika ayam yang
dipelihara kualitas genetiknya rendah, maka pemberian pakan dan perlakukan
budidaya akan menjadi pemborosan dan kesia-siaan.
Maka dari itu ayam ras petelur dengan
kemampuan bertelur 300 butir/tahun membutuhkan pakan dengan kandungan gizi yang
lebih berkualitas dan sistem budidaya yang lebih rumit dibanding
ayam kampung yang kemampuan bertelurnya
hanya 100 butir per tahun.
Untuk memelihara ayam kampung tidak
membutuhkan persyaratan kandang yang memakan biaya banyak, bahkan ayam kampung
bisa hidup dengan kondisi berkeliaran. Sebaliknya ayam ras membutuhkan kandang
dengan suhu dan kelembaban tertentu, cara pemberian pakan tertentu dan berbagai syarat lainnya yang biasanya
ditetapkan oleh breeding farm. Dengan
kondisi kualitas genetik ayam ras yang makin meningkat, bahkan sekarang makin
banyak pelaku budidaya peternakan berinvestasi miliaran rupiah untuk jenis
kandang Closed House (kandang tertutup) karena dengan teknologi kandang ini,
kebutuhan genetik ayam ras bisa dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
Sayangnya implementasi teori ini
baru sebatas tataran mikro di kalangan pelaku usaha. Padahal teori ini perlu
diperluas jangkauannya dalam wilayah kebijakan pemerintah sebagai
penanggungjawab manajemen makro peternakan.
Mari kita telaah k asus yang paling
aktual, yaitu gonjang-ganjing harga daging akibat kekurangan pasokan dari
peternak. Meningkatnya impor sapi bakalan dan impor daging sapi apabila
ditelusuri tak lepas dari pengabaian terhadap segitiga emas peternakan.
Pada tahun 1975 Indonesia masih
bisa mengekspor sapi ke Singapura, namun menjelang akhir 80an tidak lagi bisa
ekspor dan di awal 1990an mulai impor sapi bakalan dan impor daging.
Kejadian ini diawali dengan
pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan kebutuhan daging
sapi meningkat. Dirjen Peternakan di era Dr Soehadji waktu itu mengakui bahwa
pertumbuhan permintaan daging mencapai 7-10% per tahun sedangkan pertumbuhan
persediaan daging sapi lokal dengan segala keterbatas biologisnya hanya mampu
tumbuh 4%/tahun.
Kekurangan itu dipenuhi dengan
impor sapi bakalan dan daging sapi. Secara
genetic bibit sapi lokal tak mampu memenuhi pertumbuhan permintaan,
sehingga perlu upaya untuk meningatkan mutu genetiknya. Genetic
improvement dilakukan oleh pemerintah melalui Balai Pembibitan Ternak yang
dibangun pemerintah di beberapa daerah.
Tampaknya konsep pengembangan bibit sudah dirancang sejak Dirjen Prof
Hutasoit tahun 1970-80an melalui pembangunan Balai pembibitan Ternak dan
Hijauan Makanan Ternak (BPT HMT) sebagai wujud visi pimpinan waktu itu yang
sangat memahami semangat Dasar Negara Republik Peternakan.
Sayangnya visi ini kurang ditangkap
oleh pelaksana kebijakan di level bawah. Balai pembibitan lebih berfungsi sebagai tempat recording produktivitas sapi,
sementara Balai Hijauan Makanan ternak lebih banyak berperan sebagai tempat
mengoleksi potensi bibit hijauan saja.
Alhasil 30 tahun kemudian yang
semestinya sudah ada hasil dari peningkatan mutu genetik, belum tampak
hasilnya.
Jalan yang ditempuh adalah
melakukan impor sapi bakalan. Berbeda dengan dibidang unggas dimana masyarakat
perunggasan mengimpor bibit unggas dan menolak keras impor daging ayam, di
usaha peternakan sapi, impor daging sapi diperbolehkan. Alasan yang mengemuka
saat itu karena ada segmentasi market, dimana impor daging hanya untuk konsumen
tertentu yang membutuhkan daging kualitas atas.
Kebijakan pemerintah di era 90an
dengan konsep Tiga Ung cukup menggambarkan pola pengendalian agar segitiga emas
peternakan tidak terabaikan. Konsep Tiga
Ung dicanangkan di Lampung sehingga dikenal dengan Gaung dari Lampung.
Makna Tiga Ung adalah, sapi lokal
sebagai tulang punggung, impor sapi bakalan dengan pendukung dan impor daging
sebagai penyambung . Maknanya adalah impor sapi bakalan hanya dilakukan jika
sapi local tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor inipun diatur
agar melalui proses penggemukan selama 3 bulan di dalam negeri sehingga ada
semangat menciptakan lapangan kerja dan proses belajar budidaya yang menerapkan
kaidah tatakelola yang modern. Pelaku feedloter
(penggemukan sapi) dilarang keras mengimpor sapi siap potong. Impor sebagai penyambung dilakukan karena
kebutuhan daging kelas tertentu, bukan impor daging yang dapat mengganggu harga
daging sapi hasil peternakan rakyat.
Kini konsep ini dilupakan, bahkan
mungkin pengambil kebijakan saat ini tidak tahu menahu soal visi dan semangat didirikannya Balai pembibitan
ternak, dan konsep Gaung dari Lampung.
Dan sangat mungkin sengaja atau tidak sengaja telah terjadi pengabaian
terhadap dasar negara republik peternakan yang disebut segitiga emas
peternakan.
Hal ini bisa kita lihat saat ini.
Kebijakan impor sapi siap potong untuk memenuhi kebutuhan lebaran yang terbukti
tidak efektif. Pengambil kebijakan dalam hal ini Menteri Perdagangan tidak
paham mekanisme distribusi daging. Ia menyederhakan masalah bahwa dengan impor
banyak harga otomatis harga turun. Faktanya tidak sesederhana itu. Jika impor
tidak didukung jalur distribusi , dapat terjadi, harga tidak turun namun ada
daging yang tidak laku. Itu yang terjadi di lebaran tahun ini.
Singkat kata, untuk memperkokoh republik
peternakan, kebijakan pemerintah yang utama
dalah menjalankan “dasar negara” berupa segitiga emas. Pemerintah harus kembali
ke dasar (back to basic) dengan
mendata keragaman bibit sapi di Indonesia, mendata potensi sumber pakan di
berbagai wilayah, tahap berikutnya mengembangkan kualitas dan kualitas bibit
dan sumber pakan, dan selanjutnya pola budidaya secara bertahap ditingkatkan
melalui penguatan SDM peternakan mulai program pelatihan yang berkesinambungan.
Proses ini membutuhkan kebijakan
jangka panjang dan perlu kesabaran, karena hasilnya baru akan kelihatan 20-30
tahun lagi. Dibutuhkan proses alih generasi yang baik agar visi pemimpin bisa
diteruskan kepada penggantinya. Sayangnya di era demokratisasi sekarang ini
tengah terjadi politisasi birokrasi yang mengancam kelanggengan sebuah visi
jangka panjang.***
Bambang Suharno, Sarjana Peternakan
0 Comments:
Posting Komentar