MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

Sikapmu Menentukan Kesuksesanmu

Teruslah belajar, bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan teknis, tapi agar bisa memiliki sikap yang lebih baik.

Jalan-jalan di kota Teknologi Shenzen, China

Perjalanan ke kota Teknologi Shenzen, China, 1 Mei 2019 dalam rangka Shenzen International Pet Fair.

Launching buku Menggali Berlian di Surabaya

Buku Menggali Berlian di Kebun Sendiri karya Bambang Suharno diluncurkan di acara Grand City Convex Surabaya, di tengah acara pameran internasional Indolivestock Expo.

Meraih sukses

Jika sukses harus diraih dengan kerja keras banting tulang siang malam, itu namanya sukses dengan mesin manual. Anda perlu belajar meraih sukses dengan mekanisme sukses otomatis (Suksesmatic.com).

Pengalaman Naik Kereta TGV di Perancis

Perjalanan ke Rennes Perancis dalam rangka menghadiri pameran internasional, naik kereta TGV dari Paris ke Rennes.

Tampilkan postingan dengan label kepemimpinan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kepemimpinan. Tampilkan semua postingan

JOKOWI DAN PRABOWO; SIAPAKAH PEMIMPIN LEVEL 5?

Saat ini, media masa Indonesia sedang begitu bergairah memberitakan 2 pasangan Capres-Cawapres untuk berlaga di Pilpres yang akan berlangsung 9 Juli 2014. Sebagian masyarakat sudah yakin akan pilihannya, sebagian lagi masih bimbang mau memilih Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta.

Memilih pemimpin bukan perkara mudah bagi sebagian orang. Ada sebagian memilih berdasarkan panutannya atau kelompoknya, ada juga yang benar-benar mencermati track recordnya.

Untuk anda yang masih belum menentukan piihan, mari kita simak,  seorang pakar bernama Jim Collins yang telah mencurahkan sebagian waktunya untuk mendalami perusahaan-perusahaan yang maju dan kepemimpinannya.

Jim dan tim risetnya meneliti 1.435 perusahaan di Amerika untuk dilihat rekam jejak 40 tahun perjalanan perusahaan. Dari perusahaan sebanyak itu, Jim  dan kawan-kawan menemukan 11 perusahaan yang dikategorikan sebagai perusahaan hebat. Sebagai contoh Walgreens, dulunya dikenal di AS sebagai perusahaan yang biasa-biasa saja. Pada tahun 1975, terjadi “keajaiban”.  Walgreens menanjak, menanjak dan terus menanjak. Saham Walgreens mengalahkan bintang teknologi Intel hampir dua kali, General Electrics dengan hampir lima kali, Coca-Cola dengan hampir delapan kali, dan pasar saham umum NASDAQ dengan hampir 15 kali.

Dari analisanya, Jim menyimpulkan ada enam elemen kunci yang menyebabkan perusahaan biasa-biasa saja kemudian dapat bertransformasi menjadi perusahaan hebat, salah satunya adalah faktor leadership (kepemimpinan). Jim menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan yang hebat memiliki kepemimpinan level 5, sebuah kategori kepemimpinan yang menurutnya sebagai kategori kepemimpinan terbaik.

Ya, dari analisa hasil risetnya ini Jim menyimpulkan adanya 5 level kepemimpinan yang kini menjadi referensi penting bagi siapapun yang ingin menjadi pemimpin hebat.
Menurut Jim, level pertama kepemimpinan adalah highly capable individual, yaitu kepemimpinan yang berupa  individu yang sangat produktif, terampil dan kerja bagus. Dalam kacamata saya, mereka adalah orang-orang yang cenderung memimpin diri sendiri. Orang ini kalau memimpin banyak orang cenderung pusing tujuh keliling karena melihat anak buahnya tidak seterampil dia. Orang ini sangat trampil bekerja, tapi belum tentu mampu memajukan sebuah institusi akibat cara-cara memimpinnya yang justru lebih menyibukkan diri sendiri dibanding memberdayakan orang lain.

Level kedua adalah contributing team member. Pemimpin yang masuk kategori ini adalah Individu-individu yang  bekerja efektif dalam satu group. Jelas, level ini lebih baik dari yang pertama, tapi belum cukup untuk membuat institusi  hebat. Ia hanya mampu bekerja dalam satu tim untuk suatu tugas.

Selanjutnya Level ketiga yaitu competent manager, sekelompok orang yang efektif meraih goal. Lumayanlah, kalau kita punya manajer seperti ini. Tata kelola kegiatan sudah mulai bagus, ada perencanaan, aksi dan evaluasi. Tapi yang inipun hanya mampu membuat sebuah institusi yang dia pimpin menjadi baik, bukan institusi super alias hebat.

Level keempat lebih bagus, yaitu effective leader, pemimpin yang komitmen pada tujuan sangat bagus, punya standar luar biasa. Keunggulan pemimpin ini adalah banyak orang berminat untuk menjadi pengikutnya. Mereka yang termasuk kategori effective leader mampu secara efektif merumuskan cita-cita besar perusahaan dan meyakinkan banyak orang untuk ikut berkontribusi. Sayangnya, menurut Jim, pemimpin semacam ini hanya efektif selama ia memimpin saja, setelah ia pensiun perusahaan terancam mengalami banyak kesulitan.

Nah level kelima inilah yang membuat sebuah lembaga yang biasa bisa berkembang menjadi luar biasa. Mereka disebut sebagai  good to great leader. Mereka adalah  pemimpin yang mampu membangun kejayaan, tapi dengan kombinasi kesederhaan, personal humility dan keinginan profesional yang sangat kuat. Ciri khas kepemimpinan level 5 adalah sederhana dan rendah hati. Mereka  adalah orang-orang yang tampil biasa-biasa saja. Tapi, punya kemampuan hebat dalam melakukan perubahan dari institusi  yang tadinya biasa-biasa saja menjadi institusi yang hebat.

Bedanya level 4 dengan level 5 adalah pada kemampuan regenerasi. Pemimpin level keempat, jika dia pensiun, institusi tempat ia mengabdi bisa goncang, sedangkan pemimpin level 5 sangat memperhatikan upaya agar institusi dapat berjalan lama dan terus berkembang meskipun dia sudah berhenti. Pemimpin kategori ini adalah seperti seorang panutan yang menginspirasi dan mampu membangun sistem kaderisasi yang mantap. Ia menjadi pemimpin yang rendah hati, tidak menampilkan diri sebagai pemimpin yang kuat dan ambisius, serta  tidak membuat  institusi yang dipimpin bergantung 100% pada dirinya.

Perusahaan yang masuk kategori good to great sangat fokus pada hasil, memiliki kapasitas eksekusi yang baik (good executor) dan cenderung low profile.

Sekarang, silakan Anda menilai, siapakah Capres yang masuk pemimpin kategori level 5?


MENYELESAIKAN PERTANDINGAN


 
John Stephen Akhwari  

Dalam dunia kompetisi termasuk di dunia olah raga, sang pemenang adalah bintang yang senantiasa dijadikan teladan dan idola bagi masyarakat. Mereka adalah simbol kerja keras, simbol pantang menyerah dan simbol kesuksesan. Itu hal yang lumrah.

Hal yang berbeda terjadi di arena olimpiade bulan oktober 1968.  Seorang pelari yang kalah, bahkan menjadi pelari “paling lambat” di kelasnya dibanding para pesaingnya, justru menjadi inspirator keberhasilan bagi dunia. Waktu itu berlangsung nomor lomba  lari marathon di stadion olimpiade Mexico City. Lebih dari satu jam sebelumnya pelari Ethiopia Mamo Wolde sudah mencapai garis finish dan sudah disahkan sebagai juara, tapi sebagian penonton masih setia menunggu pelari terakhir asal Tanzania yang bernama John Stephen Akhwari. Hari mulai gelap dan dingin.

Saat yang dinanti-nanti penonton olimpiade itu akhirnya tiba. John lari terhuyung-huyung mencapai garis finish dalam kondisi kaki berdarah akibat luka. Orang bersorak-sorai dan bertepuk tangan melihat semangat John untuk tetap menyelesaikan pertandingan itu. Sebagian penonton tak kuasa menitikan air mata.

Di arena ini, meski Juara olimpiade Mamo Wolde, tapi John Stephen Akhwari tak kalah populer. Bukan karena ia berada di paling belakang, melainkan karena kegigihannya untuk mencapai garis finish dengan keadaan berdarah-darah (dalam arti sebenarnya). Ia disanjung seperti pahlawan perang yang tetap maju melawan musuh sampai titik darah penghabisan.

Wartawan mengerubuti John dan sudah pasti pertanyaannya adalah “Mengapa John yang sudah pasti kalah dan dalam keadaan berdarah-darah tetap menyelesaikan lari hingga garis finish?”

Dengan peluh di sekujur tubuh dan luka yang berdarah, John menjawab, "Negara saya tidak mengirim saya untuk mendapat medali, melainkan untuk menyelesaikan pertandingan"

***
Inspirasi kesuksesan rupanya bukan hanya datang dari kemenangan, begitu kesimpulan saya membaca cerita di atas. Memang benar kemenangan adalah tujuan, dan untuk itulah ada “sejuta teknik” meraih kemenangan. Sejuta teknik ini tatkala dilaksanakan tidaklah selalu berjalan mulus. Seperti kita mau melakukan perjalanan jauh. Meskipun sudah dipersiapkan segala sesuatunya, kita tidak dapat memastikan semuanya dapat berjalan dengan lancar. Bisa saja terjadi ban kempes di jalan sepi di tengah malam. Atau bisa saja kehilangan barang ketika istirahat. Itu semua harus disikapi dengan sikap terbaik. Rintangan dalam perjalanan hidup ini juga begitu aneka rupa dan tidak mudah untuk ditebak. Dalam berbisnis, kita berupaya menggali bermacam ilmu agar produk laku di pasaran. Itu juga tidak menjamin barang tersebut langsung laris manis. Kadang ada proses benturan dinding yang memusingkan kepala entah itu penolakan oleh agen, distribusi tidak lancar ataupun penyebab lainnya.


Untunglah, lingkungan kita tidak melupakan orang-orang yang bekerja keras dan tuntas meski belum menghasilkan medali kejuaraan. Coba kita ingat di sekitar kita. Tak sedikit seorang tokoh organisasi yang kalah dalam pemilihan ketua umum, justru mendapat pujian hebat lantaran ia segera mengakui kekalahan dan mendukung program-program pesaingnya yang kini jadi pemenang. Pimpinan yang kalah ini membuat masyarakat sangat menghargainya.

Demikian pula halnya dengan John Stephen Akhwari yang tidak memenangkan nomor lari marathon, namun menunjukan kegigihan untuk menyelesaikan pertandingan. Ia menjadi simbol kegigihan menjalankan tugas hingga tuntas.

John C Maxwell dalam bukunya The Success Journey mengatakan dalam hidup ini tujuan kita adalah menyelesaikan pertandingan, dengan melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan.

Maxwell mengatakan,  John Stephen Akhwari adalah orang yang tetap konsisten dalam memandang tujuan. Ia menggunakan istilah “berfokus pada gambar besarnya”. Gambar besar di sini adalah menyelesaikan pertandingan, bukan “meraih medali”. Jika pelari Tanzania ini  fokus pada perolehan medali semata, maka dengan kondisi kaki terluka dan berdarah, ia memilih untuk berhenti di tengah jalan. Buat apa meneruskan, bukankah sudah jelas ia tak mungkin dapat medali di kejuaraan olimpiade ini?

Pelari ini juga tidak mencari-cari alasan untuk berhenti di tengah jalan meski ia berhak untuk melakukannya. “Sembilan puluh sembilan persen kegagalan datang dari orang yang mempunyai kebiasaan membuat alasan,” demikian kata George Washington Carver. Orang-orang yang sulit meraih sukses, umumnya pintar membuat alasan atas kekurangberhasilan yang mereka peroleh. Sebaliknya orang sukses tidak suka mencari-cari alasan atas kegagalannya meskipun ia berhak untuk melakukannya.

Dari kisah John Stephen Akhwari, saya lebih paham arti sebuah kegigihan dalam menyelesaikan kompetisi hidup. Bahwa kegagalan bukanlah peristiwa yang memalukan, buktinya John menjadi simbol orang sukses di dalam peristiwa “kegagalannya”.

sumber foto: http://www.mensajesdeanimo.com/wp-content/uploads/2013/05/sigue-co.jpg

(artikel ini telah dimuat di majalah Infovet April 20112.

Menanggapi Keluhan Marzuki Ali; Ketua DPR Tidak Bisa seperti CEO Perusahaan

Marzuki Ali
Kamis, 3 Januari 2013 Sindo Radio Jakarta 104.75 fm menyiarkan wawancara langsung dengan Ketua DPR Marzuki Ali. Saya tidak sempat mendengarkan secara utuh wawancara tersebut, namun ada hal menarik yang layak kita cermati dari orang nomor satu di DPR kita ini.

Marzuki menyampaikan "keluhannya" sebagai seorang Ketua DPR yang tidak dapat berfungsi sebagaimana CEO perusahaan. Sebagai Ketua DPR ia tidak dapat memberi sanksi kepada anggotanya karena ketua DPR bukanlah atasan mereka.
Ia memberi contoh ketika ia punya ide menjalankan training ESQ (Emotional Spiritual Quotient) untuk anggota DPR bersama tokoh ESQ Ary Ginanjar.Ary Ginanjar menyanggupi untuk mentraining ESQ selama 3 hari untuk anggota DPR secara gratis. Karena masalah teknis, Marzuki minta 2 hari saja.

Ketika ide ini dilontarkan, banyak yang tidak setuju. Akhirnya bersama Ketua DPR lain ia memutuskan agara training ini sifatnya sukarela. Anggota DPR yang berminat silakan ikut. Singkat cerita, acara dapat berlangsung dengan peserta 100an orang yang ikut, namun yang benar-benar ikut full 2 hari  hanya 30an orang.

"Inilah bedanya sebagai Ketua DPR dengan CEO perusahaan. Saya tidak dapat memberi sanksi, karena fungsi ketua DPR hanya sebagai kordinator saja," kata Marzuki.

Begitulah Marzuki Ali. Saya tertarik untuk mengomentari keluhan Ketua DPR yang sangat terhormat karena sebelumnya saya juga mendengar keluhan serupa ketika ia diwawancarai sebuah stasiun TV. Intinya ia mengatakan, "saya kan sebagai Ketua DPR tidak dapat berbuat banyak, karena saya bukan atasan mereka".

Saya perlu mencatat beberapa hal terhadap pernyataan Marzuki Ali sesuai pemahaman saya mengenai leadership dan manajemen. Saya kurang begitu kenal siapa Marzuki Ali sebelum jadi ketua DPR. Kabarnya ia eksekutif perusahaan. Yang saya tahu, ia bukan berlatar belakang seorang pemimpin organisasi sekelas Akbar Tanjung yang matang di Golkar, atau Gus Dur di NU dan PKB ataupun Amien Rais di Muhammadiyah dan PAN.

Dengan begitu saya jadi maklum terhadap pernyataan Marzuki Ali. Siapapun tahu bahwa Ketua DPR memimpin ratusan orang dari berbagai latar belakang. Ia lebih banyak berperan sebagai ketua Sidang sebagaimana Ketua Sidang PBB. Juga tak jauh berbeda dengan pimpinan sidang di kongress ormas dan organisasi politik. Leadership sebuah lembaga terhormat sekelas DPR adalah kepemimpinan rapat tingkat nasional yang hasilnya akan berdampak ke seluruh rakyat Indonesia. Namun tetap hakekat leadership adalah soal visi misi untuk membangun arah tujuan yang sama dan memotivasi anggota untuk bersama-sama menuju visi yang disepakati.  So, dengan demikian yang dibutuhkan Marzuki adalah kemampuan mengelola sidang. Terus terang saya belum melihat kehebatan Marzuki dalam memimpin sidang. Untuk itu menurut saya lebih baik Marzuki terus meningkatkan kapabilitas lobby dan negosiasi dengan lintas partai dan lintas fraksi. Dan sebagai pemimpin, sebaiknya pantang mengeluh di muka publik termasuk wawancara di radio.

Pernyataan di radio tadi pagi adalah keluhan yang menurut hemat saya sangat tidak layak bagi seorang Ketua DPR. Seandainya saya penyiar radio, saya akan langsung bertanya," bukankah anda tahu sebelumnya bahwa menjadi Ketua DPR memang berbeda dengan manager atau direksi perusahaan?" Bukankah tugas anda yang utama adalah sebagai pemimpin bukan manager?

Ketua DPR sepemahaman saya memang bukan manager atau CEO yang tugasnya menegur, memberi sanksi, memecat dan merekrut anggota tim. Apakah Marzuki ingin seperti itu? Bukankah itu akan merendahkan derajatnya sebagai Ketua Umum Dewan yang sangat terhormat di negeri ini?

Maafkan saya Pak Marzuki, saya harus katakan bahwa anda perlu mendalami soal leadership dan manajerial. Dua hal yang sangat berbeda tapi sering campur aduk. Dua hal yang harus ada dan bersinergi untuk mengembangkan institusi manapun, baik lembaga politik, DPR maupun korporasi.

Bagaimana pendapat anda?

Bambang Suharno