Manusia
akan lebih tenang dan bahagia hidupnya jika mampu membingkai ulang sebuah
kejadian menjadi lebih positif dan bermanfaat.
Riyadin (baju putih) bersama saya dalam sebuah seminar. |
Riyadin memulai
usaha dengan belajar sablon sejak masih sekolah. Tidak ada yang mengajarinya
teknik pemasaran. Hanya dengan semangat saja ia melakukan pemasaran dengan cara
menawarkan cetakan kartu nama kepada guru-guru di sekolah dan menjual jual
stiker hasil sablon kepada teman-teman di sekolah..
Tidak ada pesanan
dalam jumlah besar. Hanya beberapa saja yang terjual. Tapi baginya, itu
merupakan capaian yang luar biasa. Bahagia rasanya hingga ia bisa berkenalan
dengan pemilik sebuah sekolah ketika mengantarkan barang pesanan sekolah dari
pamannya yang berupa baju-baju seragam sekolah.
Ketika memasuki
halaman sekolah itu, terbersit di benaknya, sebuah sekolah yang berhubungan
dengan buku dan alat pendidikan, pastilah membutuhkan produk-produk cetakan. Maka,
ia memberanikan diri mengajukan penawaran kepada pemilik sekolah itu. Tak
disangka, responnya positif. Pemilik Sekolah itu memintanya menyebutkan barang
cetakan apa saja yang bisa ia buat. Riyadin gelagapan, bingung, dan hampir tak
bisa menjawab, karena sesungguhnya ia belum banyak tahu tentang jenis-jenis
pekerjaan cetakan.
“Cetakan apa saja
bisa saya kerjakan Pak,” jawabnya asal saja untuk menutupi kebingungannya. Dari
pemilik sekolah itulah ia mendapatkan
pesanan barang cetakan dengan nilai Rp 250.000.
Ketika barang
cetakan jadi dan siap dikirimkan, ia menjadi bingung karena harus mengangkat
barang yang cukup berat. Kurang lebih 40 kg bobotnya yang harus dibawa dengan
menaiki kendaraan umum karena tak memiliki kendaraan sendiri. Bahkan beberapa
kali ia disumpah serapah orang karena mengganggu kenyamanan mereka di angkutan
umum.
Turun dari angkot menuju
lokasi pengiriman, barang cetakan ia angkat dengan berjalan kaki. Jari-jari
tangannya melepuh. Ingin rasanya menyetop ojeg motor untuk mengantarkan menuju
lokasi pengiriman, namun uang tak mencukupi.
Sambil merasakan
sakit, ia berbicara dalam hati , “Ya Allah, untuk pekerjaan senilai 250 ribu
saja saya seberat ini proses yang harus dilalui.” Sejurus kemudian ia tersadar,
tidak boleh mengeluh. Buru-buru ia mengubah “makna” dalam pikirannya. Ia teriakkan
keras-keras dalam hati, “Oh bukan ya Allah. Ini bukan 250 ribu. Tapi ini adalah
seperempat juta. ini jutaan ya Allah, bukan ratusan ribu. Saya
jutawan muda ya Allah.”
Ajaib setelah
mengungkapkan hal tadi, semangat muncul kembali dan langsung mengangkat barang
tersebut dan mengantarnya sampai tujuan dengan langkah yang terasa lebih ringan.
Lega rasanya ketika pembayaran ia terima. Lebih membahagiakan lagi, pekerjaan
demi pekerjaan dari sekolah tersebut dipercayakan kepadanya. Sampai pada saat
penerimaan siswa baru tahun berikutnya, ia
mendapat order cetakan senilai Rp. 50.000.000. Sebuah angka yang sangat
besar untuk ukuran seorang Riyadin yang waktu itu masih berusia 20 tahunan.
Di kemudian hari Riyadin
baru memahami bahwa apa yang ia lakukan dengan mengubah makna Rp 250 ribu
menjadi seperempat juta adalah teknik reframing.
Dalam
ilmu Neurolinguistic Programming (NLP),
reframing adalah kemampuan untuk membingkai ulang makna dari suatu peristiwa
dengan bingkai yang lebih baik tanpa mengubah kejadian itu sendiri. Keterampilan
reframing ini dapat dilatih menjadi kebiasaan yang positif.
Ada
dua jenis reframing, yaitu
meaning Reframing dan Context Reframing . Meaning Reframing atau sering juga
disebut sebagai Content Reframing adalah
membingkai ulang makna dari suatu peristiwa dengan memberikan arti baru yang
lebih positif dan bermanfaat atas sebuah peristiwa. Contohnya, Riyadin yang
memaknai Rp 250 ribu seperempat juta rupiah, sehingga lebih bersemangat untuk meraih sukses. Atau melihat jalan macet
dengan makna jalan penuh mobil, banyak
orang kaya dan banyak peluang usaha.
Context Reframing adalah membingkai ulang suatu keadaan dengan memindahkan atau mencari konteks baru yang lebih sesuai. Dalam teori NLP ada istilah yang menyatakan “ada satu konteks yang tepat untuk setiap perilaku”. Contohnya, daripada merasa minder karena badannya terlalu tinggi, seorang remaja putri (tinggi badan 175 Cm) dapat melakukan reframing dengan memindahkan konteksnya ke dalam konteks lain. Misalnya, tinggi badan diatas rata-rata adalah modal yang bagus untuk menjadi model, artis, pramugari, Polisi Wanita atau konteks-konteks lainnya yang membutuhkan syarat tinggi badan tertentu dalam profesi tersebut.
Dengan
memandang masalah melalui teknik reframing inilah, Riyadin menjadi lebih tenang
menghadapi berbagai tantangan usaha. Hingga kemudian merintis usaha produsen
sari kedelai bermerek Sale dengan jumlah karyawan lebih dari 100 orang.
Manusia
akan lebih tenang dan bahagia jika mampu membingkai ulang apapun peristiwa yang
terjadi dalam hidupnya dengan makna yang lebih positif dan bermanfaat. Termasuk
dalam menyikapi situasi politik di suatu negara.***
Bambang Suharno
Bambang Suharno
0 Comments:
Posting Komentar