Sejak usia muda para pemimpin
bangsa telah belajar hidup mandiri, bahkan diajarkan oleh orang tuanya agar
tidak menjadi anak manja atau jadi anak rumahan yang hanya belajar untuk
mendapat nilai ijazah semata. Mereka diajak keluar untuk menghadapi berbagai
tantangan.
Proklamator RI Soekarno salah
satu contohnya. Ia tinggal sebentar dengan ayah bundanya di Blitar, kemudian
tinggal bersama kakeknya di Tulung Agung, lantas pindah ke Mojokerto agar bisa melanjutkan
sekolah di Europeesche Lagere School
(ELS).
Ketika melanjutkan sekolah di Hoogere Burger School (HBS) Surabaya,
Soekarno menumpang di rumah pimpinan Syarekat Islam HOS Tjokroaminoto. Saat di
sekolah menengah itulah tahun 1918 ia mendirikan organisasi pemuda Jawa (Jong Java).
Lulus dari HBS Soekarno pergi ke
Bandung melanjutkan kuliah di ITB yang saat itu bernama Technische Hoge School. Di kota ini ia tinggal di rumah Haji Sanusi
yang merupakan kerabat HOS Tjokroaminoto. Ia diperkenalkan dengan tokoh
nasional Ki Hajar Dewantara, Tjiptomangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker.
Interaksi inilah yang membedakan Soekarno dengan mahasiswa pada umumnya. Maka
tak mengherankan, ketika lulus, ia terlibat dalam gerakan-gerakan yang bermuara
pada perjuangan merebut kemerdekaan. Ia mendirikan beberapa organisasi, salah
satunya yang paling fenomenal adalah Partai Nasional Indonesia (PNI)
Tatkala meraih gelar insinyur, Soekarno
tidak memlilih bekerja di pemerintahaan Belanda dengan gaji yang memadai, melainkan
memilih untuk melawan kolonialisme.
Ibarat naik kendaraan, Soekarno
tidak memilih menjadi penumpang yang bisa bersantai, namun ia memilih menjadi driver dengan segala resikonya. Sebagai
pengemudi ia tak boleh tidur, bahkan kantuk sejenakpun berbahaya.
Prof. Renald Kasali dalam bukunya
“ Self Driving” mengatakan, bangsa yang hebat adalah “a driver nation”. Terbentuknya driver
nation adalah hasil dari pribadi-pribadi yang bermental “driver” yang menyadari bahwa ia
adalah mandataris kehidupan. Para pemimpin di driver nation sadar bahwa ia mendapatkan mandataris dari rakyat
untuk melakukan perubahan.
Kata Renald, driver adalah sikap
hidup yang membedakan dengan sikap “passenger” (penumpang). Anda tinggal pilih
, ingin duduk manis sebagai penumpang di belakang atau mengambil resiko sebagai
driver di depan? Di belakang anda boleh
duduk sambil ngobrol, makan, bercanda bahkan ngantuk dan tertidur. Anda juga
tidak harus tahu jalan, tidak perlu memikirkan keadaan lalu lintas dan tak
perlu merawat kendaraan.
Sebaliknya seorang driver bisa
hidup dimanapun. Awalnya mereka men-drive
diri sendiri, kemudian me-drive orang
lain, dan pada level seperti Bung Karno dan para pemimpin lainnya, mereka ikut
men-drive bangsa.
Betapa banyak mental penumpang
di sekitar kita agaknya membuat Renald cukup resah. Dalam situasi baik pun
mereka gampang mengeluh, mengkritik organisasi di kantornya, mengkritik para
pemimpin bahkan mencaci maki presiden tanpa data yang jelas.
Mereka tidak mengambil bagian
sebagai komponen yang melakukan perubahan, melainkan hanya sebagai penumpang
saja.
Keberhasilan Indonesia lepas
dari jerat penjajahan adalah karena muncul pada pelajar dan mahasiswa waktu itu
tampil sebagai driver. Seandainya mereka
memiliki sikap penumpang, niscaya para kaum terpelajar lebih memilih menjadi
pegawai pemerintah Belanda dengan fasilitas yang jauh lebih baik dari rakyat
pada umumnya. Dan sangat mungkin Indonesia tetap menjadi bangsa terjajah.
Membaca buku karya Self Driving,
saya langsung melihat sekeliling. Kaum muda semakin banyak yang menikmati kemanjaan
menjadi mental penumpang. Orang tua mereka sangat protektif. Mengantar jemput
di sekolah sejak TK hingga SMA. Mereka dicarikan tempat kost ketika kuliah di
luar kota dan diberikan fasilitas lengkap. Dicarikan pekerjaan ketika lulus.
Bahkan tak sedikit orang tua ikut terlibat dalam karir anaknya. Orang tua
modern ini mengawal dan menjadi driver bagi kehidupan anaknya.
Sementara itu di dunia
pendidikan, mereka diajari untuk menghafal pelajaran, bukan memecahkan masalah
kehidupan.
Kemanjaan ini jika diteruskan
akan semakin membuat masyarakat didominasi oleh mental penumpang. Tak
mengherankan jika situasi ekonomi makin banyak didominasi produk impor.
Sikap driver bukan hanya penting
bagi aktivis politik dan birokrasi, namun juga para pimpinan dan karyawan perusahaan.
Dunia usaha menghendaki manusia-manusia berkarakter driver yang berkompetensi,
cekatan, gesit, berinisiatif dan kreatif.
Artikel ini disusun Bambang Suharno dan telah dimuat di Majalah Infovet edisi Januari 2015
0 Comments:
Posting Komentar