Setelah protes bertubi-tubi datang dari kalangan pengusaha
dan peternak, akhirnya pemerintah membatalkan aturan pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen bagi semua ternak baik impor maupun di dalam
negeri. Dengan demikian, semua ternak dipastikan bebas dari pungutan pajak
tersebut.
"Untuk mensinergikan kebijakan pangan, khususnya barang strategis di bidang pangan, maka untuk ternak tidak akan dikenakan PPN," tegas Staf Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Badan kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti di Jakarta, Jumat (22/1/2016).
"Untuk mensinergikan kebijakan pangan, khususnya barang strategis di bidang pangan, maka untuk ternak tidak akan dikenakan PPN," tegas Staf Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Badan kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti di Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Ini adalah kejadian aktual pertengahan januari 2016. Sebuah
kebijakan tentang pungutan PPN yang dalam waktu beberapa hari langsung dicabut.
“Sebuah drama yang tidak lucu,” kata seorang pengamat.
Sebelumnya, polemik tentang kecukupan jagung menjadi perdebatan
keras antara pemerintah dengan peternak dan produsen pakan. Pasalnya,
Pemerintah menganggap jagung dalam negeri masih cukup untuk memenuhi kebutuhan
pakan, sebaliknya apa yang dirasakan oleh peternak dan pabrik pakan justru
sebaliknya. Jagung sulit didapat dan harganya melambung tinggi. Melalui
negosiasi yang alot akhirnya pemerintah mengizinkan kembali impor jagung.
Proses ini menguras waktu dan energi yang sangat besar. Dampak lanjutannya,
biaya produksi pakan menjadi naik drastis.
Soal kebijakan impor jumlah sapi bakalan di era sebelumnya juga
sempat membingungkan publik. Kementerian Pertanian menyatakan sapi lokal cukup sehingga impor
sapi diturunkan drastis. Akibatnya harga daging sapi melambung tinggi dan
terjadi pengurasan sapi lokal. Bahkan sapi perah dijual sebagai sapi potong
karena peternak tergiur harga sapi yang mahal.
Kebijakan “menghambat” impor kemungkinkan didasari semangat
untuk secepatnya mencapai titik swasembada sekaligus membela peternak dalam
negeri. Namun jika semangat itu tidak didasari data lapangan yang akurat, dapat
terjadi dampak negatif yang jauh lebih besar.
Ambil contoh, karena pabrik pakan dan peternak (selfmixing farm) kekurangan pasokan
jagung , maka para formulator pakan harus bekerja ekstra keras mencari formula
baru yang mengurangi jagung. Hasilnya biaya pembuatan pakan menjadi lebih
tinggi, karena ketersediaan bahan baku alternatif juga minim. Pada saat yang bersamaan pemerintah melakukan
kesepakatan afkir dini parent stock agar harga ayam di tingkat peternak bisa
terdongkrak naik dan memberi laba bagi peternak.
Alhasil, ketika pasokan ayam dan telur di lapangan
berkurang, harga ayam terdongkrak naik dan selanjutnya harga ayam di konsumen
juga ikut melonjak. Bisa dibayangkan,
jika PPN untuk ternak diberlakukan baik untuk ayam maupun sapi, maka harga
daging ayam dan daging sapi akan lebih melonjak lagi.
Pengenaan PPN ini bisa jadi dapat menambah pendapatan pajak
bagi negara, namun akibat negatifnya jauh lebih besar, yakni konsumen level
bawah tidak mampu membeli sumber gizi protein hewani yang merupakan sumber
kesehatan dan kecerdasan.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa ini adalah,
pertama, semua pengambil kebijakan perlu memahami secara komprehensif dampak
setiap kebijakan yang akan diambil. Kebijakan Menteri Pertanian bukan hanya
untuk petani pagi, jagung dan kedelai, tapi juga peternak sapi peternak ayam,
dan berujung pada konsumen. Bahkan lebih jauh lebih berujung pada kecerdasan
dan kesehatan anak bangsa.
Kedua, sangat diperlukan data yang akurat dan cepat bagi
para pengambil kebijakan. Indonesia begitu luas dan beragam, sementara data
yang dipakai pemerintah mungkin saja data nasional, bukan per wilayah. Data per
provinsi pun bisa saja kurang tepat diimplementasikan. Seperti yang biasa
dilakukan oleh pelaku bisnis. Data mereka dipecah berdasarkan sentra bisnis
komoditas, bukan per wilayah pemerintahan. Misalnya untuk peternakan ayam ada
data priangan timur, Jawa Tengah bagian selatan plus Jogja, Jabodetabeksuci
(Jakarta, Bogor, Depok ,Tangerang,Sukabumi, Cianjur) dan sebagainya yang bukan berbasis provinsi maupun kabupaten.
Kecepatan data juga ikut menentukan kualitas data itu
sendiri. Tak kalah pentingnya, adalah bagaimana pengambil kebijakan dapat mendalami
data itu untuk mengambil kebijakan tanpa diiringi tujuan pencitraan “telah
berhasil” mencapai target.
Kita paham, para pejabat dikejar target seperti supir bus
kota mengejar setoran. Menteri Pertanian perlu membela petani, tapi jangan
sampai menguras sapi lokal, apalagi sapi betina produktif. Menteri membela
petani, tapi juga harus membuat harga pangan wajar. Menteri ingin sepat
swasembada jagung, namun jika faktanya jagung belum mencukupi kebutuhan
peternak, janganlah dipaksakan menyetop impor jagung. Yang perlu dilakukan
adalah melakukan kajian ulang terhadap produksi jagung di berbagai wilayah.
Maka, yang ketiga, para pengambil kebijakan semestinya
berpikir komprehensif dan meninggalkan ego sektoral. Ini adalah pesan berulang
kali dari Presiden Jokowi kepada para pembantunya. Presiden paham betul, jika
para pembantunya memelihara ego sektoralnya, pembangunan tidak dapat berjalan
secara optimal.
Intinya pengambil kebijakan itu memang harus bijak, Namanya juga
kebijakan, semestinya bijak di mata publik.***
Terimkasih atas informasinya, kami selaku mitra usaha peternak, koperasi atau perusahaan bersedia membantu dalam penyediaan milkcan dan ember perah susu stainless dan alumunium dengan berbagai type dan ukuran, untuk lebih jelasnya silahkan kunjungi Koleksi Milkcan stainless
BalasHapus