Tahun 1980-an, film Rambo yang
dibintangi oleh Sylvester Stalone sangat terkenal dan laris manis di berbagai
negara. Karena laris, film ini dibuat sekuel, Rambo 1,2 ,3, kalau nggak salah
sampai 4. Tokoh ini digambarkan sebagai veteran perang Vietnam yang kecewa
dengan negerinya sendiri yang tidak menghargai para prajurit yang telah
menyabung nyawa di belantara perang Vietnam yang kejam. Di perang ini, AS boleh
dibilang dipermalukan oleh musuh bebuyutannya saat itu yakni Uni Soviet.
Pintarnya para sineas AS, meski kalah
di dunia nyata, mereka bisa membuat image
kehebatan tentara AS di medan laga. Itulah Rambo, yang digambarkan sebagai
prajurit cerdik, berbadan kekar, mampu melawan musuh dengan segala taktiknya.
Logikanya orang-orang di medan perang adalah
yang fisiknya sangat hebat, berbadan kekar, memanggul senjata, mampu menembus
belantara. Namun itu tidak berlaku untuk seorang rokoh bernama Soedirman. Ia
adalah seorang panglima perang yang memimpin perang gerilya dalam kondisi sakit
paru-paru.
Soedirman lahir di
Bodas Karangjati, Purbalingga Jawa Tengah (30 km dari Purwokerto), 24 Januari
1916, memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah
yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Ia kemudian melanjut Ke HIK (
sekolah guru) Muhamadiyah, di Solo , tidak sampai tamat. Wafat pada 29 Januari
1950 (usia 34 tahun) setelah menjalankan misi perang gerilya dan dinobatkan
sebagai Pahlawan Pembela kemerdekaan. Ia
menjadi Panglima dan Jenderal termuda dalam sejarah Republik Indonesia.
Soedirman
satu-satunya penglima TNI yang dipilih melalui proses demokrasi, berupa pemungutan
suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/Angkatan Perang Republik
Indonesia (TKR/APRI) pada 12 November 1945. Usianya saat itu baru 29 tahun. Dia
menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip Soemohardjo, kandidat yang
mengenyam pendidikan militer Belanda.
Patung Soedirman di Jepang |
Karena kehebatannya itu Soedirman
menjadi Jenderal bintang 5 alias Jenderal Besar. Kehebatannya pula yang membuat
ia dikenang sebagai nama jalan utama di hampir setiap kota di Indonesia. Juga
sebagai nama universitas di daerah kelahirannya, Universitas Jenderal Soedirman
(Unsoed) di Purwokerto.
Saking hebatnya, patung Soedirman juga dipajang di depan Kementerian Pertahanan Jepang di Tokyo. Dia adalah satu-satunya tokoh yang bukan warga negara Jepang yang patungnya dipasang di tempat yang sangat strategis. Kita tentu bangga sebagai warga negara Indonesia.
Kehebatan Soedirman yang dikenal di dunia militer adalah mampu
memimpin perang gerilya selama 7 bulan dari hutan ke hutan dalam keadaan fisik
yang jauh dari fisik Rambo. Sungguh mengagumkan, kepemimpinannya mampu membuat
dunia internasional mengakui, bahwa negara baru yang bernama Indonesia itu nyata-nyata
ada dan layak diakui. (catatan: saat itu Indonesia belum diakui sebagai negara
berdaulat).
Di kala sebagian tokoh tertekan karena Belanda kembali menyerang Indonesia dengan segenap kekuatan fisik dan lobby-nya, Soedirman menegaskan bahwa merdeka itu harus 100%. Tidak mau setengah-setengah, apalagi menjadi negara boneka. Semboyannya “maju terus pantang mundur”, membuat seluruh rakyat bergelora, rela berkorban demi mempertankan kemerdekaan
Kajian dan diskusi tentang
leadership sering mempertanyakan,
kenapa seorang pemimpin mampu memberi pengaruh luar biasa kepada jutaan orang
hanya dengan berbicara beberapa kata ? Soedirman misalnya, ia tidak banyak
berbicara, tidak juga menulis buku tentang pemikirannya. Namun ketika di medan
perang gerilnya menyampaikan kata-kata
“maju terus pantang mundur”, para prajurit dan masyarakat rela mendukungnya
dalam bentuk bantuan fisik, makanan, informasi maupun yang lainnya.
Soedirman bertindak
efektif saat langsung berkarya di medan laga. Pun ia sejatinya tidak berperang
dalam arti mengangkat senjata. Secara fisik ia seakan merepotkan anak buahnya
yang harus menggotong tandu agar Sang jenderal bisa berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lainnya yang semuanya melewati jalan sulit berbukit-bukit.
Mengapa
Soedirman bisa punya pengaruh demikian hebat dalam keadaan fisiknya yang sakit?
Ini bisa dikaitkan dengan 3 peran utama pemimpin sebagaimana disebutkan
Soehadji (Dirjen Peternakan 1988-1996). Ia mengungkapkan, peran utama pemimpin
adalah mengubah tantangan menjadi peluang, mengubah kelemahan menjadi kekuatan,
dan dapat memberikan kejelasan pada saat orang lain bertanya tentang apa yang
terjadi.
Ketika
Indonesia yang baru merdeka ditantang oleh serbuan tentara Belanda, Soedirman
menerima tantangan itu sebagai peluang untuk membuktikan keberadaan negara republik
yang baru berdiri. Namun situasi Indonesia sebagai negara baru merdeka tidak
memiliki kekuatan angkatan perang. Kelemahan itu bisa dijadikan kekuatan dengan
melakukan perang gerilya, strategi perang bersama rakyat yang sulit dilawan
dengan kekuatan senjata.
Bahkan
kelemahan fisik Soedirman menjadi kekuatan pembakar semangat. Seorang jenderal
memimpin perang dengan ditandu, membuat semangat prajurit bangkit, dan rakyat
siap membantunya dengan berbagai cara. Mereka, para prajurit yang “sehat” merasa
terpanggil ikut berjuang melihat pemimpinnya yang dalam kondisi sakit rela
memimpin perang secara gerilya.
Pada
saat yang sama, sebagian masyarakat sebenarnya sedang bingung, apakah para
pemimpin negara akan menerima tawaran sebagai negara serikat atau bagaimana.
Sebagian rakyat merasakan, setelah merdeka kenapa hidup tambah susah.
Dalam
keadaan serba bingung, Soedirman menegaskan arah perjuangan, yakni merdeka itu
harus 100%. Kejelasan arah, dan ketegasan dalam bersikap, membuat Soedirman
menjadi pemimpin yang mampu menggelorakan semangat mempertahankan
kemerdekaan. Soedirman hebat bukan
karena fisiknya kuat sebagaimana Rambo, namun karena kekuatan leadership-nya.***
0 Comments:
Posting Komentar