Prof. David Beng,
seorang peneliti dari Boston University USA, telah melakukan riset selama 5 tahun untuk
mengetahui khasiat berbagai macam daun tanaman tropis. Hasil risetnya telah
dipublikasikan di Journal of Human Medicine yang terbit awal tahun 2015 ini,
dan artikel hasil risetnya itu cukup menghebohkan dunia pengobatan khususnya
pengobatan penyakit kanker.
Dalam laporan risetnya, David Beng mengemukakan bahwa daun
singkong asal negara tropis memiliki kandungan zat yang mampu meredam proliferasi sel kanker. Itu sebabnya ia
kemudian menyimpulkan bahwa masyarakat negara tropis yang suka makan daun
singkong, jarang yang terkena penyakit kanker. Ia menyarankan daun singkong
sebaiknya cukup direbus saja lalu dimakan, tidak perlu dibuat sayur, agar
khasiat anti kankernya lebih optimal. Makan daun singkong dua hari sekali akan
mampu menghambat tumbuhnya sel kanker dalam tubuh.
Percayakah
Anda dengan tulisan di atas? Itu adalah tulisan saya yang ngawur. Hanya
imajinasi saja. Jadi jangan percaya, karena saya tulis hanya sebagai contoh
tentang mudahnya membuat berita bohong di ruang publik, dalam hal ini melalui
media sosial.
Saat ini
kita hidup di era keterbukaan informasi. Setiap hari hari kita mendapatkan
berbagai macam informasi melalui broadcast
Blackberry, whatsapp, facebook, twitter
dan sebagainya. Broadcast itu pada
bagian akhirnya biasanya ada semacam “kata bijak” agar kita segera meneruskan
informasi yang belum tentu benar tersebut ke teman-teman kita. Ada yang di
akhir cerita ditulis "meneruskan info ini berarti menyelamatkan ribuan orang".
ada yang tertulis "indahnya berbagi" dan sebagainya. Jika broadcast
itu ada unsur religiusnya, di bagian akhir biasanya ada petuah untuk segera
bertindak menyebarluaskan informasi sebagai amal ibadah.
Padahal apabila
disikapi secara kritis, banyak sekali informasi yang beredar itu adalah berita
bohong alias Hoax. Bahkan sebagian berupa fitnah terhadap tokoh, industri
ataupun institusi. Bisa dibayangkan betapa bahayanya ikut menyebarkan berita
bohon, apalagi fitnah. Belum lama ini saya menerima broadcast yang terkesan sangat meyakinkan tentang dialog seorang
pasien dengan dokter. Dokter bilang ke pasien, penyakitnya yang berupa kista di
rahim adalah akibat suka makan sayap dan
leher ayam , dimana di leher ayam biasa disuntikan hormon yang berbahaya. Sangat mungkin sudah ratusan ribu orang
percaya dengan informasi menyesatkan ini.
Di era
keterbukaan informasi, kita perlu lebih kritis menangkap informasi. Ibarat makan,
informasi yang beredar itu ada yang berupa makanan bergizi, ada yang tidak
bergizi dan ada juga yang berupa sampah dan racun. Karena informasi adalah
makanan bagi otak kita, maka kita perlu memilih dan melakukan crosscheck, apakah makanan itu cukup bergizi
buat otak kita atau tidak.
Menuntut
ilmu hingga perguruan tinggi adalah melatih berpikir kritis. Berpikir kritis
mengandung aktivitas mental dalam hal memecahkan masalah, menganalisis asumsi, menguji
rasionalitas, mengevaluasi, melakukan penyelidikan, dan mengambil keputusan.
Dalam proses pengambilan keputusan, kemampuan mencari,
menganalisis dan mengevaluasi informasi sangatlah penting. Ciri orang yang berpikir kritis akan selalu mencari
dan memaparkan hubungan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah atau
pengalaman lain yang relevan.
Menurut
Prof. Potter, ada tiga alasan pentingnya keterampilan berpikir kritis dimasa sekarang. Pertama, adanya ledakan
informasi. Saat ini terjadi ledakan informasi yang datangnya dari broadcast informasi dan puluhan
ribu website mesin pencari di internet. Informasi dari berbagai sumber
tersebut bisa jadi banyak yang ketinggalan zaman, tidak lengkap, atau tidak
kredibel. Untuk
dapat menggunakan informasi ini dengan baik, perlu dilakukan evaluasi terhadap
data dan sumber informasi tersebut. Kemampuan untuk mengevalusi dan kemudian
memutuskan untuk menggunakan informasi yang benar memerlukan keterampilan
berpikir kritis. Oleh karena itu, maka keterampilan berpikir kritis sangat
perlu dikembangkan masyarakat.
Ketidak mampuan berpikir kritis, menyebabkan banyak orang
percaya pada berita bohong. Kita lihat , banyak orang seenaknya menuduh seorang
tokoh sebagai antek komunis, antek liberalisme ataupun penjahat perang.
Kedua, adanya tantangan global. Saat ini terjadi krisis global yang serius. Untuk
mengatasi kondisi yang krisis ini diperlukan penelitian dan pengembangan
keterampilan-keterampilan berpikir kritis. Berpikir kritis bukanlah
berpikir negatif, justru sebaliknya, berpikir kritis dapat menggali informasi
lebih dalam. Ketiga, adanya perbedaan pengetahan warga negara. Sejauh ini
mayoritas orang di bawah 25 tahun sudah bisa meng-online-kan berita
mereka. Beberapa informasi yang tidak dapat diandalkan dan bahkan mungkin
sengaja menyesatkan, termuat di internet.
Berpikir kritis bukan hanya untuk informasi di dunia
maya. Berulangnya kasus penipuan investasi yang jelas-jelas tidak masuk
akal, beredarnya berita tahayul,
penipuan berkedok undian berhadiah adalah sedikit contoh akibat masyarakat kita
belum bersikap kritis terhadap informasi. (Bambang Suharno)***