Tanggal 14-20 september 2014 lalu saya mendapat
kesempatan perjalanan ke Perancis untuk menghadiri undangan SPACE, sebuah
pameran industri peternakan terbesar kedua di dunia, yang berlangsung di Kota
Rennes, Provinsi Bretagne (Brittany), Perancis. Di kalangan pelaku industri
peternakan di Indonesia, pameran ini sangat terkenal, namun pengunjung dari
Indonesia memang tidak sebanyak pengunjung pameran peternakan lain misalkan VIV
di Bangkok, China dan Belanda atau International
PoultryExpo (IPE) di Atlanta, USA.
Melalui media ini, saya tidak berbicara soal
hebatnya industri peternakan di negara-negara Eropa atau belahan dunia lain,
melainkan pengalaman perjalanan di Paris dengan kereta TGV yang saya nikmati dalam perjalanan dari Paris
menuju Rennes.
Train a Grande
Vitesse (TGV) atau
kereta api kecepatan tinggi di Perancis telah dioperasikan sejak tahun 1981.
Selama lebih dari 30 tahun jaringan KA TGV terus berkembang di Perancis,
kemudian tembus ke beberapa Negara Eropa seperti Belgia, Belanda, dan Inggris.
Teknologi KA TGV juga berkembang dengan cepat seiring dengan jumlah armada
serta rekor kecepatan yang dicapai.
Dari berbagai informasi yang saya peroleh,sejak awal jaringan
jalan KA di Perancis yang terhubung dengan beberapa Negara di Eropa telah
menggunakan jalan rel dengan lebar sepur 1435 mm yang merupakan standard gauge atau normal gauge. Dengan jalan rel
1435 mm dan lokomotif listrik kereta api di Eropa dapat mencapai kecepatan
sampai 200 km/jam pada jalan lurus dan datar. Hal ini belum memuaskan kinerja
la Societe Nationale des Chemins de fer du Francais (SNCF) atau Perkeretaapian
nasional Perancis.
Sekitar tahun 1975, SNCF mengadakan studi-studi dan percobaan untuk
meningkatkan kecepatan KA dan diwujudkan dengan pembagunan jalur supercepat TGV
dengan teknologi baru. Jalur baru TGV ini dibangun dengan geometry relative lurus, bila ada tikungan diusahakan dengan radius yang besar, kelandaian yang kecil,
walaupun masih ada tanjakan yang cukup terjal.
Jalur KA TGV yang pertama kali dibangun adalah antara
Paris-Lyon, berjalur ganda, lebar sepur 1435 mm; tegangan listrik aliran atas
25 KV, 50 Hz, dan V operasi 270 km/jam. Jalur KA TGV selanjutnya yang dibangun
adalah Paris-Le Mans ke arah barat Perancis dan paris-Tours
ke arah selatan, kemudian dilanjutkan Paris-Lile kea rah utara yang akhirnya
tembus ke Inggris melalui terowongan bawah laut.
Rennes
Tujuan Saya
Rennes terletak di wilayah barat Paris, membutuhkan
waktu 2 jam perjalanan dari stasiun Montparnase Paris. Sesuai saran dari
beberapa teman, saya bersama 2 orang rekan dalam perjalanan dari Indonesia,
membeli tiket TGV secara online di Indonesia dan dibayar menggunakan kartu
kredit. Membeli secara online harganya lebih murah dibanding beli langsung di
stasiun. Dengan membeli secara online satu kali jalan harga tiket TGV 40 euro.
Saya berangkat dari Jakarta tanggal 14 sept pukul
19.30 menggunakan AirFrance, transit di Singapura sekitar dua jam dan
selanjutnya perjalanan dari Singapura
menuju Bandara Charles D Gaule Perancis memakan waktu 12 jam. Tiba di Paris jam
9 pagi hari waktu setempat atau jam 14 wib. (Waktu Jakarta lebih cepat 5 jam
dibanding waktu Paris).
|
suasana di dalam gerbong jereta TGV |
|
Dari bandara Charles D Gaul saya naik kereta menuju
Stasiun Mountparnasse, sekitar 45 menit. Masih ada waktu 2 jam untuk menunggu
kereta TGV berangkat menuju Rennes. Kami istirahat sambil ngopi sejenak di
Starbuck Café sambil bertanya ke petugas lokasi apa yang menarik untuk
dikunjungi di sekitar stasiun. Oleh seorang di starbuck café saya disarankan
untuk melihat taman pemakaman kuno yang tak jauh dari stasiun. Agak aneh saya
mendengar saran tersebut, namun saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju
pemakaman yang dimaksud, yakni sebuah pemakaman mewah di tengah kota yang
sebagian adalah pemakaman bersejarah tahun 1800an.
Oya, cuaca Perancis di bulan September adalah cuaca
yang sangat cocok untuk warga Indonesia. Kami tidak tersiksa oleh dinginnya
Eropa, karena suhu pagi hari sekitar 19-20 derajat celcius dan siang hari
sekitar 25-28 derajat celcius. Ini adalah cuaca sejuk mirip di daerah Puncak,
sehingga kami tidak perlu jas tebal dan pakaian dalam untuk menahan dinginnya
salju sebagaimana yang pernah saya alami beberapa tahun lalu di Amerika Serikat
di Bulan Januari.
Print
dan Stempel Tiket
Sebelum saya jalan-jalan di sekitar stasiun
Montparnasse, saya terlebih dulu melakukan print tiket. Sesuai petunjuk dari
email, saya harus mendapatkan mesin print tiket di dalam stasiun.Untuk
memudahkan melakukan print tiket sebaiknya email dari pihak TGV diprint dulu di
tanah air, sehingga ketika melakukan print, tinggal baca petunjuk dan mengikuti
perintah.Sebab kalau salah pencet bisa-bisa salah print. Setelah selesai
melakukan print, computer memerintahkan agar saya menyetempel tiket. Saya
langsung mencari petugas untuk menanyakan dimana bisa menyetempel tiket. Ooo
rupanya yang memberi stempel adalah mesin juga. Wah pantesan di stasiun sebesar
ini jarang ditemui petugas. Ini sebuah negara dimana tenaga kerja sangat mahal
sehingga banyak hal harus dilakukan dengan computer.
Saya mendapatkan mesin stempel di beberapa tempat,
tiket tinggal dimasukkan dan langsung keluar lagi dengan mendapatkan beberapa
kode tambahan. Berbeda dengan bayangan saya sebelumnya. Saya kira stempel itu
berupa cetakan stempel bulatan besar sebagaimana stempel instansi pemerintah,
melainkan hanya kode verifikasi saja.
Selesai setempel, saya jalan-jalan ke wisata
pemakaman selama sekitar satu jam. Kembali ke stasiun jam 13 dan tinggal
menunggu kereta yang sesuai dengan tiket, menuju Rennes. Awas hati-hati jangan
sampai salah naik kereta. Kita harus mencermati layar computer besar yang
mengumumkan di jalur berapa kerata yang mau kita tumpangi. Sistem manajemen
stasiun ini mirip airport. Kita perlu mengecek kapan dan dimana kita harus
menunggu kereta. Juga harus melihat kita duduk di gerbong berapa beserta nomor
tempat duduknya. Kita harus terbiasa melihat pengumuman, karena jarang ada
petugas. Berbeda dengan di stasiun Gambir, dimana di setiap pintu gerbong ada
petugas yang memberi tahu no gerbong dan ada yang keliling mengecek tempat
duduk kita.
Menikmati
Perjalanan Paris-Rennes
Sesuai jadwal di tiket, pukul 14.05 waktu setempat kereta TGV berangkat
menuju Rennes. Dalam waktu kurang dari
10 menit pemandangan kanan kiri kami bukan lagi gedung-gedung perkotaan
melainkan pemandangan khas Eropa, rumput dan pepohonan hijau sepanjang jalan,
sebagian ada yang daun yang menguning dan berguguran, pertanda musim gugur
sedang dimulai.
Tempat duduk kereta sangat nyaman. Saya sudah lama
tidak naik kereta Argo Lawu atau Argo Bromo, tapi seingat saya kurang lebih
sama nyamannya. Bedanya kereta ini berjalan lebih cepat. Karena telinga saya agak peka, maka pada saat
awal kereta ngebut, telinga saya agak berdengung, mirip ketika pesawat baru
take off. Saya segera mengunyah permen agar telinga bisa berkontraksi
menyesuaikan gravitasi.
Kereta TGV sepertinya didesain untuk para pelancong
dari berbagai negara. Di antara gerbong disediakan sebuah ruangan untuk menaruh
koper dan barang-barang yang ukurannya besar. Sementara itu tas ransel bisa
ditempatkan di atap kereta, sebagaimana kereta Indonesia. Sensasi perjalanan
yang mengasyikan. Pemandangan di depan
sana terlihat hamparan kebun jagung dan gandum yang begitu luas. Terkadang ada
hamparan rumput dan terlihat puluhan ekor sapi sedang merumput. Beberapa kali
saya melihat ratusan bangunan rumah,
mungkin milik para petani, yang bentuk bangunannya cukup seragam, semacam model
minimalis tapi ukurannya lebih besar.
Tanpa terasa karena fisik cukup lelah, dan suhu yang
sejuk di dalam kereta. Saya terkantuk-kantuk hingga akhirnya sampai di stasiun
Rennes. Kota ini sekarang menjadi tempat kunjungan bagi ribuan orang dari 100an
negara yang ingin melihat pameran peternakan SPACE. Karena saya datang pada H-1, maka saya
menduga penumpang kereta yang bersama saya sebagian kemungkinan adalah
pengunjung pameran ataupun wartawan yang akan meliput.
Syukur alhamdulilah akhirnya perjalanan sampai di
tujuan. Saya langsung pesan taksi menuju hotel. Kurang lebih 20 menit sampai,
dengan biaya 27 Euro. Ya, kira-kira 2-3 kali lipat biaya taksi di Jakarta.
Sholat,
Makan Halal dan Menara Eiffel
Sebagai muslim saya sudah mempersiapkan diri untuk
mencari informasi mengenai sholat dan makanan halal. Tidak usah khawatir halal
food bisa dicari di Perancis. Tadinya saya kesulitan mendapatkan restoran
halal, karena di kanan kiri jalan dekat stasiun terlihat restoran dengan gambar
babi. Namun ternyata Kira-kira 500 m dari stasiun Rennes ada Kebab dengan
tulisan halal, sebelahnya ada Halal Fried Chicken. Alhamdulilah akhirnya saya bisa makan sore di
situ. Harganya sekitar 10 Euro (Rp. 150.000) per porsi termasuk minum. Porsinya
cukup besar, bisa untuk dua orang untuk ukuran saya.
Perancis posisinya di sebelah "barat laut" Mekah,
sehingga arah kiblat adalah ke Tenggara. Di Bandara CDG disediakan musholla.
Itu saya dapatkan setelah bertanya ke petugas. Saya berjalan kaki cukup jauh,
dan Syukur alhamdulilah di tempat ini pula saya bisa ketemu dengan sesama orang
Indonesia yang sedang ada acara di Perancis.
Saya balik dari Rennes
ke Paris Kamis 18 September 2014 sore hari, lalu menginap semalam di Paris
untuk melihat-lihat kota Paris. Kamis malam saya jalan-jalan menggunakan kereta
Metro, semacam kereta Jabodetabek. Saya
tidak mau melewatkan untuk melihat menara Eiffel di malam hari dengan naik
kapal sepanjang sungai.
|
salah satu sudut kota Paris |
|
Pagi harinya kami
kembali naik Metro,berkunjung ke Muse D lavre dan juga menara Eiffel di siang
hari.
Tentang kereta Metro,
saya melihat mayoritas masyarakat paris dari warga biasa hingga eksekutif lebih
suka menggunakan Metro untuk perjalanan ke tempat kerja. Namun karena jumlah
kereta dan fasilitasnya mencukupi dan nyaman, para penumpang tidak sampai
berjejalan sebagaimana di Kereta Jabodetabek, meskipun di jam-jam padat.
Jumat 19 September saya
kembali naik Air France menuju Jakarta. Saya ucapkan selamat tinggal Paris,
sambil mencoba mengingat-ingat apa sebenarnya persamaan Paris dengan Bandung yang dijuluki Paris Van
Java……..***