MUTIARA KEHIDUPAN

header ads

Sikapmu Menentukan Kesuksesanmu

Teruslah belajar, bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan teknis, tapi agar bisa memiliki sikap yang lebih baik.

Jalan-jalan di kota Teknologi Shenzen, China

Perjalanan ke kota Teknologi Shenzen, China, 1 Mei 2019 dalam rangka Shenzen International Pet Fair.

Launching buku Menggali Berlian di Surabaya

Buku Menggali Berlian di Kebun Sendiri karya Bambang Suharno diluncurkan di acara Grand City Convex Surabaya, di tengah acara pameran internasional Indolivestock Expo.

Meraih sukses

Jika sukses harus diraih dengan kerja keras banting tulang siang malam, itu namanya sukses dengan mesin manual. Anda perlu belajar meraih sukses dengan mekanisme sukses otomatis (Suksesmatic.com).

Pengalaman Naik Kereta TGV di Perancis

Perjalanan ke Rennes Perancis dalam rangka menghadiri pameran internasional, naik kereta TGV dari Paris ke Rennes.

Tampilkan postingan dengan label mutiara kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mutiara kehidupan. Tampilkan semua postingan

MENGAPA GRUP WA MENJADI TEGANG SAAT PILPRES?

Pada masa menjelang Pemilu banyak grup Whatsapp (WA) yang berubah menjadi grup perdebatan politik. Beberapa grup yang awalnya terbentuk untuk menyambung silaturahmi, berubah menjadi pemutus silaturahmi, gara-gara perbedaan pandangan politik. Ada yang diam-diam keluar dari grup karena merasa nggak nyaman, ada juga yang terang-terangan berbeda pendapat  lalu  keluar karena menrasa tidak nyaman. Lantas grup didominasi oleh kelompok yang satu pandangan politik saja. Itu terjadi 5 dan 10 tahun lalu. Apakah ini akan terulang?

Berikut ini fakta yang layak kita renungkan:

  1. Seorang pakar pernah menyatakan bahwa pada umumnya manusia mencari informasi berdasarkan pandangan politik yang sudah diyakininya, bukan mencari info untuk menentukan pandangan politik. Ini artinya, masyarakat kita umumnya punya pilihan politik (presiden) terlebih dulu baru googling untuk memperkuat pendapatnya. Bukan   googling untuk menentukan pilihan politik.
  2. Berdasarkan analisa di atas, saya jadi lebih mengerti kenapa pandangan politik seseorang menjadi sedemikian kuat seiring waktu mereka  rajin mencari info di internet. Situasi ini sangat berbeda dengan era sebelum tahun 2000. Anda tahu , mesin google menyediakan semua informasi sesuai kebiasaan pengguna. Jika anda hari ini mencari sepatu, besok anda buka youtube, google, fb, marketplace  dll, akan muncul penawaran berbagai macam sepatu . Demikian pula orang yang sudah punya pandangan memilih satu Capres, maka otomatis akan ketemu dengan info positif tentang Capres pilihannya dan dengan mudah menemuka info negatif tentang Capres yg bukan pilihannya. Google "menyediakan" info positif negatif masing-masing Capres.
  3. Upaya berdebat untuk mempengaruhi orang yang sudah punya pandangan politik tertentu, nyaris sia-sia karena pada umumnya orang tidak mau disalahkan, apalagi dipojokkan dengan bermacam label yang secara normatif terdengar tidak sopan. Lagi pula semua orang sudah punya argumen untuk mempertahankan pandangan politiknya. Seandainya belum punya, dengan mudah bisa dicari di internet. Mau soal utang luar negeri, pembangunan infrastruktur, pemindahan ibu kota dll semuanya ada argumen pro kontranya. Jadi apa manfaatnya berdebat di ruang yang sebenarnya ditujukan untuk mempererat tali persaudaraan? Lebih bijak mempengaruhi orang lain yang jauh dari hiruk pikuk internet, bukan di grup keluarga atau alumni.
  4. Setiap orang punya tipe berpikir dan berperasaan yang berbeda-beda, ada tipe struktural, analitis, sosial, konseptual (tipe berpikir berdasarkan ilmu psikometric Emergenetics). Ungkapan  kata “kalau nggak cocok delete saja” atau “mari berpikir secara logis” adalah ungkapan orang bertipe struktural yang tidak bisa diterima oleh tipe berpikir sosial.
  5. Berkampanye dengan menjelekkan Capres lain, tidak cocok untuk masyarakat Indonesia khususnya yang pola pikirnya bertipe sosial . Cara ini sulit berfungsi menambah suara, tapi lebih berperan untuk memuaskan nafsu politik saja . Hmm, inilah kenapa dalam satu grup, jika satu orang melempar info negatif tentang satu pihak, bisa disambut suka cita oleh teman yang satu pandangan dengan memperkuat argumen logis dan "ilmiah"
  6. Secara umum manusia memilih Capres bukan menggunakan logika, tapi melalui persepsi yang diterima otak/hati. Sama halnya Anda membeli kopi yang mahal , itu bukan pakai logika. (Anda yang orang marketing pasti paham)
  7. Uniknya, fakta yang saya temui di kalangan praktisi politik jauh berbeda dengan obrolan di grup Whatsapp. Tokoh politik yang di publik seperti bermusuhan, faktanya hubungan mereka biasa-biasa saja. Mungkin Konsultan politik atau tim media yang mengharuskan mereka agar terkesan berseberangan demi kepentingan persaingan merebut suara. Di atas mereka bersaing biasa sebagaimana pertandingan olah raga, di bawah seperti sebuah peperangan. Jadi tidak usah heran , politisi yang lima tahun lalu seperti bermusuhan, tahun ini berkawan akrab, Pun demikian, yang sekarang sedang berseberangan, tak usah kaget kalau nantinya bergabung dalam satu kelompok.
  8. Sekarang coba bayangkan, jika Pilpres tahun 2024 berlangsung 2 putaran, maka satu Capres akan berkoalisi dengan Capres lain yang tadinya berseberangan. Orang di grup WA yang tadinya menjelek-jelekan Capres A, perlu "menyesuaikan diri" karena Capres tersebut mungkin bergabung dalam satu koalisi di putaran kedua.

Sebagai penutup, saya sampaikan ungkapan dari Ridwan Kamil (harap dikoreksi jika keliru). Katanya, ada 3 kelompok orang yang sangat sulit diberi nasehat. Pertama orang yang sedang mabok minuman, kedua, orang yang sedang mabok cinta. Ketiga, orang yang sudah punya pilihan Capres (kategori mabok juga kali ya hehehe)

Gimana pendapat Anda ?

Salam sukses

Bambang Suharno  


Sang Guru Pembuka Jalan Masa Depan



Satu langkah kecil dari seorang manusia (pemimpin), dapat menjadi satu lompatan besar bagi kemanusiaan (Neil Amstrong 19302012)


Siang itu sepulang dari kantor, pak Rusdi tiba-tiba berhenti di depan rumahku dan bercakap-cakap dengan bapakku yang sedang menyapu halaman di depan rumah. Demikian Ayo Sugiryo alias Suryo, seorang guru SMA Internasional di Purwokerto , memulai tulisannya yang berjudul “Sang Guru Penyelamat” dalam sebuah buku “Mimpi-mimpi Kecil dan Seribu Kemarau

Berikut saya kutip sebagian kisahnya .
Sebagai anak kampung kelas VI SD, melihat seorang kepala sekolah mampir ke rumah, aku lari ketakutan hingga menyelinap di kamar ruang depan sambil berusaha menguping percakapan dua orang dewasa itu. Antara Bapak dan Pak Rusdi, kepala sekolah SD. Ada apa Pak Rusdi tiba-tiba mampir ke rumahku? Saat itu saya kelas 6 SD di sekolah yang dipimpin Pak Rusdi.

“Beneran lho kang. Jangan sampai Suryo tidak lanjut SMP. Kasihan anak lanang satu-satunya. Pinter lagi sekolahnya.” Pak Rusdi tiba-tiba menasehati bapak. Bapak kelihatan semakin tidak mengerti maksud Pak Rusdi. Untuk apa dia merayu-rayu anaknya untuk lanjut sekolah?



Nuwunsewu (mohon maaf-red) Pak Kepala. Biaya dari mana untuk si Suryo sekolah SMP? SMP itu kan biayanya secikrak (satu keranjang sampah-red). Mau jual apa saya Pak?” Jawab Bapak  jujur. Saat itu, jenjang sekolah tingkat SMP sudah luar biasa di desaku dan luar biasa mahalnya menurut ukuran orang tuaku dan orang tua teman-temanku yang sebagian besar penghasilannya dari  usaha tani yang lahannya tidak seberapa luas.

Dari balik dinding bambu kamar, aku memejam-mejamkan mata dan melebar-lebarkan daun telinga untuk dapat konsentrasi penuh dengan percakapan mereka. Hatiku berdebar-debar mendengarkan percakapan mereka yang menggosip tentang diriku. Sungguh saya sangat terharu, rupanya Pak Rusdi sebegitu perhatian terhadapku. Sampai-sampai menginginkanku harus lanjut ke SMP. Dalam benakku, apakah semua bapak teman-temanku juga didatangi dan ditanyai seperti itu? Ah, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah bahwa Pak Rusdi benar-benar baik dan dia sedang memperjuangkan masa depanku. Ya Allah! Terimakasih engkau telah mengirimkan malaikat terbaik untukku!

“Kang Maryo apa tidak kasihan sama Suryo. Suryo itu anaknya rajin. Di sekolah kerjaannya baca buku di perpustakaan. Dia itu nggak pernah ke warung depan sekolahan pas istirahat. Apa kang Maryo ndak tahu kalau  si Suryo itu seneng belajar ? Seneng baca buku?” begitu pak Rusdi terus merayu dengan menyampaikan fakta-fakta tentangku.

Aku pun bingung. Dari mana Pak Rusdi sebagai Kepala Sekolah tahu kalau aku suka membaca dan belajar? Dari mana Pak Rusdi tahu kalau aku ingin sekolah terus? Aku tak habis pikir mengapa pak Rusdi yang sangat memahami aku dan mengerti keinginanku. Ah, bagiku Pak Rusdi itu seorang guru yang hebat yang menginginkan anak didiknya tak berhenti hingga sekolah dasar. Dia bagaikan sang penyelamat bumi masa depanku yang hampir kiamat.

Bapakku tampak manggut-manggut, mungkin otaknya sedang berfikir keras terkena hasutan malaikat pencatat kebaikan. Antara bisa dan tidak untuk melanjutkan anak lelaki satu-satunya ke jenjang pendidikan SMP. Waktu itu anak-anak desa Tlaga, Kecamatan Gumelar (berjarak 40 km dari Kota Purwokerto Jawa Tengah)  yang sekolah SMP hanya berkisar anaknya pegawai tingkat desa seperti anak mantri puskesmas, anak guru, anak mandor perhutani, dan anak lurah. Untuk anak petani biasa seperti aku, lulus SD harus siap dengan segala konsekuensi masyarakat kalangan bawah. Hanya ada dua pilihan; tetap tinggal di desa dan siap membantu orang tua bertani atau pergi merantau ke Ibukota.
Dan sekarang aku akhirnya benar-benar bertengger di atas bukit impianku, melanjutkan sekolah di SMP. Terima kasih Bapak, terimakasih Pak Rusdi!

***
Silaturahmi dengan keluarga di Purbalingga

Saya ikut terharu membaca kisah hidup Suryo . Gara-gara perhatian seorang Pak Rusdi, orang tuanya berjuang keras mencari nafkah untuk menyekolahkan Suryo hingga SMP. Bahkan kemudian dengan berbagai upaya, ia mampu melanjutkan hingga pendidikan tinggi.  Ia menceritakan sebuah ketulusan dan kejujuran seorang guru yang berdampak sangat besar bagi muridnya. Seorang Rusdi baginya bukan sekedar guru namun pembuka jalan masa depan yang semula gelap.

Berkumpul keluarga besar di kala lebaran (2015)
Mungkin bagi Pak Rusdi, pekerjaan bernegosiasi dengan orang tua murid hanyalah langkah kecil saja. Karena dalam jiwanya sudah tertanam untuk mengabdi sebagai pendidik secara total, bukan sekedar mengajar di kelas. Jika ada anak membolos beberapa hari saja, tak segan-segan ia datangi rumahnya untuk mencari informasi penyebab nya. Dan sebaliknya jika ada anak yang pintar, ia berjuang agar orang tuanya berjuang untuk menyekolahkan anaknya.

Apa yang dilakukan Rusdi adalah tindakan seorang pemimpin, yang melihat dimana ada benih potensial untuk masa depan. Ia juga berperan sebagai motivator untuk para orang tua agar memperjuangkan anaknya untuk bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Maklum, ia mendapat tugas di daerah terpencil dimana para petani pada umumnya tidak berhasrat menyekolahkan anaknya, yang penting bisa baca tulis saja.

Kehadiran Rusdi yang disebut sebagai sang guru penyelamat telah membuat nasib seorang suryo yang semula hampir senasib dengan teman seusianya menjadi petani atau buruh tani, berubah seketika menjadi siswa SMP dan kemudian bisa melanjutkan hingga sarjana.

Ketika terdengar kabar bahwa Bapak Rusdi meninggal dunia tanggal 21 Januari 2019, Suryo memposting copy buku dan mengucapkan, terima kasih yang tak terhingga dan Selamat Jalan untuk Pak Rusdi. “Saya kehilangan sosok seorang pendidik seperti Pak Rusdi, Sang Guru Penyelamat” kata Suryo.

Rusdi Hadiyuwono kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, 18 September  1938. Lulus dari Sekolah Guru Atas (SGA) di Purwokerto, ia mendapat tugas ke pelosok desa terpencil tahun 1956. Di saat itu di Gumelar sedang berkecamuk perang melawan DI/TII. Konon saat pamit mengemban tugas, orang tuanya menangis agar jangan berangkat. Namun Rusdi muda tetap berangkat menjalankan tugas negara merintis sekolah dasar mulai dengan pinjam rumah penduduk sebagai kelas, hingga pemerintah membangunkan bangunan SD yang terbuat dari kayu dan bambu.

Penghayatannya sebagai guru di desa terpencil merupakan bagian terbesar dari perjalanan pengabdiannya . Ia selalu hafal dengan murid-muridnya bahkan dengan para orang tua muridnya.

Dan saya pun sangat terharu membaca tulisan yang diposting di facebook oleh Ayo Sugiryo (Suryo), karena yang ditulis itu adalah ayah saya sendiri yang berpulang 21 Januari 2019 lalu.  Ia hanya seorang Guru SD, bukan tokoh nasional, namun ternyata apa yang dilakukan ayah saya begitu dikenang oleh muridnya hingga namanya diabadikan dalam sebuah buku.

Betul kata mutiara kehidupan dari Neil Amstrong, Satu langkah kecil dari seorang manusia (pemimpin), dapat menjadi satu lompatan besar bagi kemanusiaan

Selamat Jalan Ayah.
Kami sangat bangga dan bersyukur menjadi anakmu.
Engkau telah tiada, tapi keteladanmu tetap hidup.
Semoga pengabdianmu tak sia-sia di hadapan Allah SWT.
Amien Ya Robbal Alamin.***


Tulisan ini saya susun untuk mengenang Ayah Kami Tercinta H. Rusdi Hadiyuwono (1938-2019) dan sebagai ucapan terima kasih kepada pak Sugiryo penulis buku "Mimpi-mimpi Kecil dan Seribu Kemarau" serta terima kasih kepada para guru dimanapun berada yang telah mengabdi dengan  tulus ikhlas .

Kami juga mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada Saudara, sahabat, tetangga, handai taulan yang telah memberikan bantuan dan perhatian begitu besar serta doa yang tulus. Antara lain kepada :
1. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Bapak Dr. Drh. I. Ketut Diarmota MP, beserta jajaarannya
2. Pengurus Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI)
3. Keluarga besar PT Medion
4. Komisaris, Direksi dan Karyawan PT Gallus Indonesia Utama
5. Bapak Roni Fadillah ketua Keluarga Alumni Fakultas Peternakan (Kafapet Unsoed) Jabodetabek  dkk 
6. Bapak Bambang Rijanto Japutra (BRJ) Ketua Kafapet Pusat dan tim.
7. Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar Indonesia )
8. Forum Media Peternakan (Format)
9. Sahabat yang hadir sebagai pribadi maupun mewakili organisasi antara lain  Pak Bambang Basuki Catur, Pak Dwi Suranto, Pak Kuntoro , Pak Sugeng Arief , Pak  Isro Suhadi (Kafapet angkatan 85), Bu Tarti, Pak Agus Ponco Sugiono (alumni SMA 1 Purwokerto), Pak  Lukman dkk (alumni SMP 1 Ajibarang), , Bambang Rijanto Japutra (BRJ) dan Arief Aceh (Kafapet Pusat), Kohar dan Rizky Yunandi (PT Gallus) dan lain-lain yang tidak bisa saya sebut satu per satu.










Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang terbaik. Amien YRA. 

Bambang Suharno dan keluarga