Di sebuah sekolah menengah yang baru saja menyelenggarakan try out (uji coba) ujian akhir nasional,
seorang guru senior merasa kecewa dengan hasil yang diperoleh oleh siswanya
yang ternyata sangat jauh dari harapan. Di hadapan para siswa, guru itu menyampaikan pesan-pesannya.
“Baiklah anak-anak sekalian. Kalian telah melihat hasil
uji coba ujian akhir nasional. Ternyata hasilnya sangat mengecewakan kita semua,” ujar pak Guru dengan raut muka serius.
“Saya tidak
mengerti kenapa kalian mendapat nilai yang sangat mengecewakan. Padahal sebagai
guru saya sudah memberikan semuanya kepada kalian. Kenapa kalian membalas
kebaikan kami dengan cara demikian? Kalau sudah seperti ini, saya tidak tahu lagi
apa yang harus saya katakan. Masa depan kalian sudah bisa saya gambarkan.
Suram!” tambahnya.
Seluruh ruangan senyap. Gesekan kertas dan suara angin
menjadi terdengar jelas. Semua siswa diam seribu bahasa. Mereka yang dalam keadaan kecewa melihat hasil try out yang jauh dari harapan, menjadi
kian panik.
Sementara itu di sekolah lain yang juga baru selesai
menyelesaikan uji coba dengan hasil yang kurang
lebih sama buruknya, suasana kelas tampak berbeda. Seorang
guru memberikan tanggapannya dengan wajah yang lebih tenang.
“Baiklah anak-anak semuanya. Kalian tentu telah melihat
hasil try out ujian akhir nasional.
Hasilnya memang belum sesuai harapan kita semua, bahkan mungkin ada di antara
kalian yang sangat kecewa. Namun saya percaya ini bukanlah hasil terbaik yang
kalian tampilkan,” nadanya terdengar
bijak.
“ Ini baru uji coba, baru pemanasan. Kami pihak
guru yakin bahwa jika kalian dapat memperbaiki cara belajar dengan serius, maka
kita akan menuai sukses. Kita semua akan benar-benar diuji pada saat ujian
akhir nasional.
Jadi kalian harus mempersiapkan diri sebaik mungkin, dan kami para guru, dengan
senang hati membantu kalian agar bisa sukses pada ujian akhir nasional. Oke!
Kita sekarang bersama-sama sepakat untuk meraih kesuksesan pada saat ujian
akhir nasional!”
Kejadian pertama adalah contoh guru yang hanya sekedar
pengajar, bukan pendidik. Dia bisa jadi seorang guru yang pintar dan cerdas namun belum memiliki kemampuan memotivasi
siswa. Sebaliknya guru yang kedua adalah guru yang mencerahkan, yang memberi cahaya ketika situasinya terasa gelap. Ia memberi motivasi dengan cara membingkai ulang peristiwa (reframing).
Zulfiandri, seorang pakar
quantum
teaching, dalam bukunya Qualitan Teaching, mengatakan, dalam memotivasi siswa, seorang guru
disarankan menggunakan teknik ini ketika melihat prestasi yang kurang bagus
pada anak didiknya. Ada dua jenis reframing, yaitu context reframing(membingkai ulang peristiwanya) dan meaning
reframing (membingkai ulang maknanya).
Teknik membingkai ulang peristiwa dilakukan dengan memberikan pandangan alternatif terhadap sebuah
kejadian. Dalam kasus di atas, guru mengatakan “ini baru uji coba”. Kata-kata
“baru uji coba” merupakan teknik membingkai ulang peristiwa yang dapat memberi motivasi ke siswa bahwa
ujian yang sesungguhnya adalah ujian akhir nasional, sehingga harus dilakukan persiapan yang lebih
baik.
Guru pada contoh kedua juga menerapkan teknik membingkai
ulang pada maknanya, dengan mengatakan “saya yakin ini bukanlah hasil terbaik
yang kalian bisa tampilkan”. Jelas
sekali kata-kata ini sangat positif dampaknya bagi para siswa yang tengah
gelisah melihat hasil uji coba ujian yang jelek.
Teknik reframing sering kita dengar dari para orang tua dan
para pemimpin yang bijak. Ini adalah cara mengambil pelajaran dari sebuah
kejadian dengan cara yang tidak menggurui. Perlu dipahami, dua teknik reframing
ini tidak selalu dapat digunakan dalam satu waktu.
Umpamanya ada
seseorang yang kesal mengalami penundaan pesawat yang disebabkan oleh kerusakan
mesin. Bagi orang yang sedang
terburu-buru dan ingin segera sampai tujuan, tidaklah tepat membingkai ulang peristiwa dengan mengatakan, “nikmati saja penundaan
ini dengan menikmati suasana bandara, berkeliling dan berbelanja oleh-oleh”.
Kalimat yang terkesan bijak ini sangat mungkin malah membuat dia emosi karena sedang
terburu-buru malahan disuruh menghabiskan waktu yang tidak jelas.
Oleh karena itu cara
yang tepat adalah dengan membingkai ulang maknanya (meaning reframing), umpamanya dengan mengatakan bahwa lebih baik
kerusakan diketahui sekarang dan diperbaiki sekarang juga saat masih di darat,
daripada ketahuan rusak ketika pesawat sedang terbang.
Dengan membingkai
ulang makna dari kejadian kerusakan mesin pesawat, penumpang dapat langsung
membayangkan betapa berbahayanya jika kerusakan pesawat baru diketahui pada
saat pesawat sudah berada di angkasa. Perubahan pemahaman ini akan dapat
membuat penumpang yang tadinya gelisah dapat menjadi lebih tenang.
Pada situasi lebaran,
kita bisa saja kecewa dengan kemacetan mudik meskipun sebelumnya sudah mengatur
jadwal perjalanan agar terhindar dari kemacetan. Menghadapi situasi itu banyak pemudik
yang memaknai situasi macet ini sebagai bagian dari perayaan lebaran itu
sendiri. Untuk itu kemacetan dapat diisi
dengan kegiatan memotret pemandangan indah dan unik di sepanjang perjalanan
atau kegiatan lainnya yang lebih bermakna.
Kita perlu
mengupayakan segalanya berjalan sesuai harapan. Manakala yang terjadi jauh dari
harapan, kita dapat memandang dengan makna yang positif dan melakukan tindakan
yang lebih baik di waktu selanjutnya. Salah satunya dengan teknik reframing. Bukankah kita ingin seperti
guru yang dapat memberi “cahaya” untuk muridnya? Selamat mencoba.***