Orang berilmu dan beradab
tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan
merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan
dapatkan pengganti kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya
hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi
rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi
jernih
Jika tidak (mengalir), kan keruh
menggenang.
……………(Imam Syafii)
Saya baru saja selesai membaca sebuah novel best seller berjudul Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi yang
konon kabarnya akan segera diangkat ke layar lebar. Kalimat
indah di atas saya kutip dari salah satu halaman di buku tersebut.
Novel yang berbasis pada kisah
nyata ini, berkisah tentang Alief Fikri, seorang anak baru lulus Madrasah Negeri
setingkat SMP di sebuah desa di Maninjau, Sumatera Barat. Ia lulus dengan nilai
terbaik di sekolahnya. Nilai yang diraihnya adalah tiket untuk mendaftar ke SMA
terbaik di Bukittinggi. Tiga tahun ia diperintahkan orang tuanya untuk sekolah
agama, sudah waktunya baginya untuk masuk ke jalur non agama. Setelah selesai
SMA ia berniat meneruskan ke UI atau ITB dan selanjutnya ke Jerman seperti
Habibie. Kala itu tahun 1980an Habibie adalah idola anak muda. Habibie adalah “motivator”
bagi anak-anak muda untuk tidak kalah cerdas dengan bangsa lain.
Di saat impian masuk SMA Negeri
terbaik sudah ada di genggaman tangan, orang tuanya yang juga seorang guru, bersikeras
meminta Alief meneruskan ke sekolah agama. “Engkau harus menjadi tokoh agama
yang hebat seperti Buya Hamka,” ujar ibundanya.
“Tapi saya tidak berbakat dengan
ilmu agama. Saya ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangkis Alief
sengit. Mukanya merah dan matanya terasa panas. Hari itu adalah pertama kalinya
Alief bersitegang dengan orang tua yang disayanginya. Selama ini ia sangat
patuh pada Ibundanya.
“Menjadi pemimpin agama lebih
mulia daripada insinyur nak,” tegas Ibunya.
“Tapi aku tidak mau,” Alief
bersikeras.
“Pokoknya Ibu tidak rela Alief
masuk SMA,” ibunya tak kalah keras.
Ketegangan makin memuncak.
Anak yang menginjak remaja ini
pada posisi yang tanpa pembela. Ayahnya tidak ikut bersitegang, tapi secara
halus menyarankan agar menuruti saja apa maunya ibunda. Alief masuk kamar dan
membanting pintu. Selama tiga hari ia mogok bicara.
Beberapa hari kemudian datanglah
surat dari paman Gindo yang sedang menuntut ilmu di Timur Tengah. Selama ini
Paman Gindo adalah salah satu yang sering memberi banyak pengetahuan dan
wawasan padanya.
“Saya punya banyak teman di Mesir yang lulusan Pondok Madani di Jawa
Timur. Mereka pintar pintar. Bahasa Inggris dan Arabnya sangat fasih. Di Pondok Madani itu mereka tinggal di asrama
dan diajarkan disiplin untuk bisa
berbahasa asing tiap hari. Kalau
tertarik, mungkin sekolah ke sana bisa menjadi pertimbangan………”
Entah kenapa, dalam kegalauan
pikiran, Tuhan sepertinya mengirimkan jalan tengah. Usul paman Gindo di Timur
Tengah sama dengan kehendak Ibundanya, masuk sekolah agama. Bedanya, ini harus
merantau ke Jawa dan mempelajari bahasa asing yang sangat menarik baginya.
Alief memberanikan diri keluar
dari kamar. “Ibu, kalau memang harus sekolah agama, saya ingin masuk ke Pondok
di Jawa saja. Saya tidak mau di Bukittinggi atau Padang.”
Kedua orang tuanya yang berada di
ruang tamu menoleh. Sejenak timbul keheningan.
“Apa sudah dipikirkan masak
–masak?” tanya ayahnya menyelidik. Sepertinya dia terkejut mendengar keputusan
anak belianya yang sangat dramatis;
merantau ke Pulau Jawa. Padahal selama ini perjalanan paling jauh hanya ke Kota
Padang.
“Sudah ayah”.
“Kalau itu memang maumu, kami
lepas dengan berat hati,”
Mendengar persetujuan orang
tuanya, bukannya gembira, tapi ada rasa nyeri yang aneh bersekutu di dadanya.
Ini bukan pilihan utama. Bahkan sesungguhnya ia sendiri belum yakin betul
dengan keputusan itu. Ini keputusan setengah hati.
***
Ya, keputusan setengah hati.
Dalam saat tertentu, kadang kita perlu mengambil keputusan dalam suasana batin
yang ragu. Itu sebabnya cerita ini saya kutip. Setidaknya untuk pelajaran dari
kita mengenai makna sebuah keputusan.
Dalam hidup ini, tidak selamanya
kita dapat mengambil keputusan dalam suasana batin dan pikiran yang tenang.
Yang terjadi adalah situasi serba mengkhawatirkan dan kita dituntut mengambil
keputusan segera. Bagi saya, keputusan Alief dalam novel ini sangat bermakna.
Secara tidak sengaja ia mengurung diri di kamar, yang sejatinya mencoba mencari
ketenangan. Dalam situasi ini, apa yang akan terjadi dapat memberi inspirasi
untuk mengambil keputusan.
Saat dalam kesulitan itu, Tuhan
mengirim bantuan. Antara lain datangnya surat Paman Gindo di Timur Tengah. Dan
Bismillah, keputusan pun ia ambil.
Dalam novel ini, keputusan
setengah hati untuk pergi menuntut ilmu ke “negeri seberang” di kemudian hari sangat
ia syukuri, karena di pondok Madani itulah ia mendapatkan pengalaman belajar
yang sangat luar biasa, yang kemudian membawa kesuksesan bagi Alief, si tokoh
utama. Seakan-akan petuah “merantau” yang saya kutip di awal tulisan ini telah
ia laksanakan dengan baik.
Mari kita renungkan, betapa
banyak calon mahasiswa harus memilih jurusan yang bukan impiannya, yang
kemudian ternyata itulah yang membawanya pada dunia sukses. Tak sedikit pula,
keputusan untuk mengambil pekerjaan tertentu dalam keadaan bimbang, tapi
kemudian ternyata itulah yang terbaik.
Jika anda pernah mengambil
keputusan bimbang, ambillah tanggungjawab atas keputusan itu. Kelak kemudian
hari, anda akan bersyukur atas apa yang telah anda putuskan. ***
0 Comments:
Posting Komentar