Sikapmu Menentukan Kesuksesanmu
Teruslah belajar, bukan hanya untuk meningkatkan kemampuan teknis, tapi agar bisa memiliki sikap yang lebih baik.
Jalan-jalan di kota Teknologi Shenzen, China
Perjalanan ke kota Teknologi Shenzen, China, 1 Mei 2019 dalam rangka Shenzen International Pet Fair.
Launching buku Menggali Berlian di Surabaya
Buku Menggali Berlian di Kebun Sendiri karya Bambang Suharno diluncurkan di acara Grand City Convex Surabaya, di tengah acara pameran internasional Indolivestock Expo.
Meraih sukses
Jika sukses harus diraih dengan kerja keras banting tulang siang malam, itu namanya sukses dengan mesin manual. Anda perlu belajar meraih sukses dengan mekanisme sukses otomatis (Suksesmatic.com).
Pengalaman Naik Kereta TGV di Perancis
Perjalanan ke Rennes Perancis dalam rangka menghadiri pameran internasional, naik kereta TGV dari Paris ke Rennes.
Memecahkan Kebuntuan
By Bambang Suharno Sabtu, Juni 18, 2016
artikel Motivasi, bambang suharno, berpikir kreatif, berpikir lateral No comments
Ketika
menghadapi masalah terasa sangat rumit, pikiran terasa buntu. Sepertinya tak
ada jalan keluar. Cobalah untuk berpikir secara lateral
Edward De Bono |
Lintah darat yang dikenal licik itu mengajukan
usulan, ia akan menaruh dua buah kerikil ke dalam kantong uang yang kosong,
yang satu berwarna hitam dan yang satunya lagi berwarna putih. Anak gadis
tersebut harus mengambil salah satu kerikil di dalam kantung. Bila dia mendapat
kerikil yang hitam, maka ia harus bersedia menjadi istrinya dan hutang ayahnya
dibebaskan. Sedangkan apabila ia mendapat yang putih, maka sang gadis dan utang
ayahnya akan dibebaskan. Namun seandainya ia menolak tawaran tersebut maka
ayahnya akan dijebloskan kedalam penjara. Apa boleh buat sang saudagar itu
terpaksa menyetujui tawaran tersebut.
Resiko Sebuah Keputusan
By Bambang Suharno Minggu, April 10, 2016
bambang suharno, cara mengambil keputusan, resiko keputusan No comments
Apa yang kita alami hari ini adalah hasil keputusan masa lalu. Keputusan Anda hari ini yang akan menentukan masa depan Anda.
Kenapa Anda sekarang menjadi dokter hewan? Kenapa
Anda bisa menjadi sarjana peternakan? Kenapa Anda kini menjadi pengusaha?
Kenapa Anda jadi eksekutif perusahaan? Kenapa Anda jadi birokrat? Semua
pertanyaan itu dapat Anda jawab, “itulah keputusan saya di masa lalu”.
Hidup adalah tentang bagaimana kita mengambil
keputusan. Apa yang Anda nikmati hari ini adalah hasil keputusan masa lalu.
Jika saat ini Anda setiap hari dipusingkan untuk mengambil keputusan-keputusan
besar, besar kemungkinan posisi Anda hari ini adalah seorang pemimpin yang
penting.
Efek Kupu-Kupu
By Bambang Suharno Senin, Februari 29, 2016
bambang suharno, Edward Norton Lorenz, efek kupu-kupu, inspirasi, teori chaos No comments
Satu kepakan kupu-kupu di Brasil
dapat menghasilkan angin tornado di Texas.
(Edward Norton Lorenz)
Edward Norton Lorenz adalah seorang ahli matematika dan
metereologi Amerika Serikat yang menjadi terkenal karena teori efek kupu-kupu.
Teori ini ia temukan tahun 1961 saat ia
secara tidak sengaja yang menemukan sebuah perbedaan kecil dari sebuah
kejadian yang dapat menimbulkan kejadian besar di kemudian hari.
Ceritanya begini. Dalam usahanya melakukan peramalan cuaca,
Lorenz menyelesaikan 12 persamaan diferensial non-linear dengan komputer yang
digambarkan dalam grafik. Pada awalnya dia mencetak hasil perhitungannya di
atas sehelai kertas dengan format enam angka di belakang koma (...,506127).
Kemudian, untuk menghemat waktu dan kertas, ia memasukkan hanya tiga angka di
belakang koma (...,506). Asumsinya perbedaan desimal 6 angka di belakang koma
dengan 3 angka di belakang koma, tidaklah akan berpengaruh pada sistem yang
sedang ia teliti.
Ia mencetak satu per satu grafik pada kertas sama yang sudah
berisi hasil cetakan tadi. Satu jam kemudian, ia dikagetkan dengan hasil yang
sangat berbeda dengan yang diharapkan. Pada awalnya kedua kurva tersebut memang
berimpitan, tetapi sedikit demi sedikit bergeser sampai membentuk corak yang
lain sama sekali.
Berdasarkan penemuan itu ia menyimpulkan bahwa satu kepakan
sayap burung camar laut (seagull) dapat mengubah jalannya cuaca untuk
selamanya. Atas anjuran rekan-rekan sejawatnya, dalam kuliah-kuliah dan
publikasi selanjutnya, Lorenz menggunakan contoh yang lebih puitis, yaitu
kepakan kecil kupu-kupu di Brasil dapat menimpulkan angin tornado di Texas.
Ketika Lorenz akan melakukan ceramah pada pertemuan ke-139
American Association for the Advancement of Science tahun 1972, rekan Lorenz,
Philip Merilees, mengusulkan judul "Does the flap of a butterfly’s wings
in Brazil set off a tornado in Texas?" ("Apakah kepakan sayap
kupu-kupu di Brasil menyulut angin tornado di Texas?"). Meskipun kepakan
sayap kupu-kupu tetap konstan dalam konsep ini, lokasi kupu-kupu, dampaknya dan
lokasi dari dampak-dampak selanjutnya dapat bervariasi luas.
Kepakan sayap kupu-kupu secara teori menyebabkan
perubahan-perubahan sangat kecil dalam atmosfir bumi yang akhirnya mengubah
jalur angin ribut (tornado) atau menunda, mempercepat bahkan mencegah
terjadinya tornado di tempat lain. Kepakan sayap ini merujuk kepada perubahan
kecil dari kondisi awal suatu sistem, yang mengakibatkan rangkaian peristiwa
menuju kepada perubahan skala besar .
Penemuan Lorenz kini tidak hanya dipakai untuk urusan cuaca.
Kalimat itu belakangan menjadi terkenal dan berperan sebagai sebuah peribahasa
dan kata-kata motivasi. Jika hal kecil seperti kepakan kupu-kupu yang berjalan
konsisten terus menerus dapat menimbulkan angin Tornado, demikian pula dalam
kehidupan ini. Pekerjaan sederhana yang dilakukan sungguh-sungguh kelak dapat
menimbulkan dampak besar. Sebaliknya kekeliruan kecil yang dilakukan terus
menerus dapat menimbulkan kerugian besar di kemudian hari.
Dalam kehidupan, tanpa kita sadari bahwa banyak hal-hal
besar yang terjadi berawal dari keputusan dan tindakan yang kecil. Sebuah
langkah perubahan kecil, bisa menjadi awal perubahan besar dalam kehidupan
seseorang, Hal kecil yang baik dan buruk bisa berefek besar. Seperti mereka
yang memutuskan untuk berhenti merokok, dengan memulai mengurangi sebatang
sehari itu sudah bentuk perubahan kecil menuju ke perubahan yang besar.
Begitu pula kebiasaan kecil yang buruk juga akan berdampak
buruk yang besar. Misalnya kebiasaan menunda pekerjaan, kebiasaan terlambat
dalam menghadiri pertemuan. Telah banyak bukti hal ini membuat reputasi buruk
bagi orang, bahkan perusahaan.
Efek kupu-kupu ada kaitannya dengan Teori Chaos, teori yang
berkenaan dengan sistem yang tidak teratur seperti awan, pohon, garis pantai,
ombak dan lain-lain yang sifatnya random, tidak beraturan. Namun bila dilakukan
pembagian (fraksi) atas bagian-bagian yang kecil, maka sistem yang besar yang
tidak teratur ini didapati sebagai pengulangan dari bagian-bagian yang teratur.
Begitupun dengan hidup ini. Satu kejadian sepertinya tidak terkait dengan
kejadian lain, namun kerapkali jika dirunut akan ketemu simpulnya.
Maka jangan sepelekan kebiasaan-kebiasaan kecil.***
Bambang Suharno
Kebijakan itu Sudahkah Bijak?
By Bambang Suharno Kamis, Februari 04, 2016
bambang suharno, ekonomi bisnis, kebijakan menteri pertanian 1 comment
Setelah protes bertubi-tubi datang dari kalangan pengusaha
dan peternak, akhirnya pemerintah membatalkan aturan pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen bagi semua ternak baik impor maupun di dalam
negeri. Dengan demikian, semua ternak dipastikan bebas dari pungutan pajak
tersebut.
"Untuk mensinergikan kebijakan pangan, khususnya barang strategis di bidang pangan, maka untuk ternak tidak akan dikenakan PPN," tegas Staf Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Badan kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti di Jakarta, Jumat (22/1/2016).
"Untuk mensinergikan kebijakan pangan, khususnya barang strategis di bidang pangan, maka untuk ternak tidak akan dikenakan PPN," tegas Staf Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Badan kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti di Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Ini adalah kejadian aktual pertengahan januari 2016. Sebuah
kebijakan tentang pungutan PPN yang dalam waktu beberapa hari langsung dicabut.
“Sebuah drama yang tidak lucu,” kata seorang pengamat.
Sebelumnya, polemik tentang kecukupan jagung menjadi perdebatan
keras antara pemerintah dengan peternak dan produsen pakan. Pasalnya,
Pemerintah menganggap jagung dalam negeri masih cukup untuk memenuhi kebutuhan
pakan, sebaliknya apa yang dirasakan oleh peternak dan pabrik pakan justru
sebaliknya. Jagung sulit didapat dan harganya melambung tinggi. Melalui
negosiasi yang alot akhirnya pemerintah mengizinkan kembali impor jagung.
Proses ini menguras waktu dan energi yang sangat besar. Dampak lanjutannya,
biaya produksi pakan menjadi naik drastis.
Soal kebijakan impor jumlah sapi bakalan di era sebelumnya juga
sempat membingungkan publik. Kementerian Pertanian menyatakan sapi lokal cukup sehingga impor
sapi diturunkan drastis. Akibatnya harga daging sapi melambung tinggi dan
terjadi pengurasan sapi lokal. Bahkan sapi perah dijual sebagai sapi potong
karena peternak tergiur harga sapi yang mahal.
Kebijakan “menghambat” impor kemungkinkan didasari semangat
untuk secepatnya mencapai titik swasembada sekaligus membela peternak dalam
negeri. Namun jika semangat itu tidak didasari data lapangan yang akurat, dapat
terjadi dampak negatif yang jauh lebih besar.
Ambil contoh, karena pabrik pakan dan peternak (selfmixing farm) kekurangan pasokan
jagung , maka para formulator pakan harus bekerja ekstra keras mencari formula
baru yang mengurangi jagung. Hasilnya biaya pembuatan pakan menjadi lebih
tinggi, karena ketersediaan bahan baku alternatif juga minim. Pada saat yang bersamaan pemerintah melakukan
kesepakatan afkir dini parent stock agar harga ayam di tingkat peternak bisa
terdongkrak naik dan memberi laba bagi peternak.
Alhasil, ketika pasokan ayam dan telur di lapangan
berkurang, harga ayam terdongkrak naik dan selanjutnya harga ayam di konsumen
juga ikut melonjak. Bisa dibayangkan,
jika PPN untuk ternak diberlakukan baik untuk ayam maupun sapi, maka harga
daging ayam dan daging sapi akan lebih melonjak lagi.
Pengenaan PPN ini bisa jadi dapat menambah pendapatan pajak
bagi negara, namun akibat negatifnya jauh lebih besar, yakni konsumen level
bawah tidak mampu membeli sumber gizi protein hewani yang merupakan sumber
kesehatan dan kecerdasan.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa ini adalah,
pertama, semua pengambil kebijakan perlu memahami secara komprehensif dampak
setiap kebijakan yang akan diambil. Kebijakan Menteri Pertanian bukan hanya
untuk petani pagi, jagung dan kedelai, tapi juga peternak sapi peternak ayam,
dan berujung pada konsumen. Bahkan lebih jauh lebih berujung pada kecerdasan
dan kesehatan anak bangsa.
Kedua, sangat diperlukan data yang akurat dan cepat bagi
para pengambil kebijakan. Indonesia begitu luas dan beragam, sementara data
yang dipakai pemerintah mungkin saja data nasional, bukan per wilayah. Data per
provinsi pun bisa saja kurang tepat diimplementasikan. Seperti yang biasa
dilakukan oleh pelaku bisnis. Data mereka dipecah berdasarkan sentra bisnis
komoditas, bukan per wilayah pemerintahan. Misalnya untuk peternakan ayam ada
data priangan timur, Jawa Tengah bagian selatan plus Jogja, Jabodetabeksuci
(Jakarta, Bogor, Depok ,Tangerang,Sukabumi, Cianjur) dan sebagainya yang bukan berbasis provinsi maupun kabupaten.
Kecepatan data juga ikut menentukan kualitas data itu
sendiri. Tak kalah pentingnya, adalah bagaimana pengambil kebijakan dapat mendalami
data itu untuk mengambil kebijakan tanpa diiringi tujuan pencitraan “telah
berhasil” mencapai target.
Kita paham, para pejabat dikejar target seperti supir bus
kota mengejar setoran. Menteri Pertanian perlu membela petani, tapi jangan
sampai menguras sapi lokal, apalagi sapi betina produktif. Menteri membela
petani, tapi juga harus membuat harga pangan wajar. Menteri ingin sepat
swasembada jagung, namun jika faktanya jagung belum mencukupi kebutuhan
peternak, janganlah dipaksakan menyetop impor jagung. Yang perlu dilakukan
adalah melakukan kajian ulang terhadap produksi jagung di berbagai wilayah.
Maka, yang ketiga, para pengambil kebijakan semestinya
berpikir komprehensif dan meninggalkan ego sektoral. Ini adalah pesan berulang
kali dari Presiden Jokowi kepada para pembantunya. Presiden paham betul, jika
para pembantunya memelihara ego sektoralnya, pembangunan tidak dapat berjalan
secara optimal.
Intinya pengambil kebijakan itu memang harus bijak, Namanya juga
kebijakan, semestinya bijak di mata publik.***