Alkisah ada seekor anak gajah yang kakinya diikat dengan rantai besi pada sebuah pohon besar. Awalnya, ia berusaha melepaskan diri berulang kali, tapi gagal. Ia akhirnya ‘sadar’ bahwa usahanya sia-sia belaka. Setelah cukup lama, lilitan pada pohon itu dilepaskan, meski rantainya tetap menempel di kaki sang gajah. Apa yang terjadi? Ternyata anak gajah itu tetap ditempatnya. Ia terpenjara oleh pengalaman masa lalunya, semacam trauma psikologis . Ia terbelenggu oleh ‘kegagalannya’.
Dalam sebuah eksperimen, seekor kutu anjing mengalami hal serupa. Kutu anjing adalah binatang yang mampu melompat 300 kali tinggi tubuhnya. Ketika ia dimasukkan ke dalam sebuah kotak korek api kosong lalu dibiarkan disana selama satu hingga dua minggu, kutu itu hanya mampu melompat setinggi kotak korek api saja!
Kutu itu mencoba melompat tinggi, tapi terbentur dinding kotak korek api. Mencoba lagi dan terbentur lagi. Terus begitu hingga ia ragu akan kemampuannya sendiri. Kemudian loncatannya disesuaikan dengan tinggi kotak korek api.
Ketika kutu itu sudah dikeluarkan dari kotak korek api, dia masih terus merasa bahwa batas kemampuan lompatnya hanya setinggi kotak korek api. Sang kutu pun hidup seperti itu hingga akhir hayat. Kehidupannya telah dibatasi oleh “kotak” masa lalunya.
Manusia bukanlah gajah, bukan pula kutu. Namun, bila pengalaman negatif, kegagalan atau kekeliruan di masa lalu dapat membelenggu hidup seseorang di kemudian hari. Seseorang yang tetap merasa masih terbelenggu atau terkotak oleh banyak kejadian masa lalu, akan sulit bergerak maju ke arah yang lebih baik.
Selain belenggu masa lalu, cara pandang masa depan yang kurang tepat, juga dapat membuat orang mudah pesimis. Meskipun tidak terbelenggu masa lalu, orang dapat terbelenggu oleh ketakutan masa depan. Isu yang menakutkan seperti isu globalisasi, pengangguran, krisis ekonomi, dapat dipandang seseorang dalam kacamata pesimis dan berakibat menjadi belenggu masa depan. Mereka yang mengalami hal seperti ini melihat masa depan serba suram, gelap dan menakutkan.
Telah sedemikian banyak seminar dan tulisan yang secara tidak sengaja membuat banyak orang ketakutan akan masa depan. Para pakar khawatir, bangsa kita semakin terpuruk oleh kekuatan negara adidaya, serta akibat lemahnya sumber daya manusia. Ketika tahun berganti tahun kekhawatiran itu semakin menjadi kenyataan, banyak orang semakin memaklumi bahwa kita sangat pantas menjadi bangsa yang kalah.
Anda tahu bagaimana dampak dari vonis bahwa kita adalah bangsa yang kalah, atau bahkan ada yang menyatakan kita adalah bangsa sakit? Bila banyak orang sepakat untuk menerima vonis seperti itu, kita akan benar-benar menjadi bangsa dengan cap negatif semacam itu. Karena kita adalah sutradara bagi diri kita.
Belenggu masa lalu tak mesti berupa masa lalu yang suram. Nostalgia berlebihan tentang prestasi masa lalu dapat pula membuat seseorang tidak mampu berprestasi lebih baik di masa kini, dan kemudian menjadi pasrah terhadap masa depan. Cobalah amati orang-orang di sekitar anda. Pasti di antara mereka ada satu dua orang yang sering berbicara membangga-banggakan prestasi masa lalunya, entah di sekolah, kampus maupun di lingkungan keluarganya.
Hati-hati dengan orang-orang seperti ini. Mereka memberikan informasi tentang prestasinya yang luar biasa di masa lalu, dan pada saat yang sama, diam-diam, mereka hendak mengatakan bahwa saat ini dirinya sangat layak untuk tak sehebat dulu lagi, dan tidak bisa hebat lagi di masa depan. Ia merasa lebih hidup di masa lalu dibanding saat ini. Mereka sering mengatakan, dulu saya bisa menang, bisa juara ini, bisa menjadi pelopor itu dan sebagainya. Mereka secara tidak sadar menyatakan “sukses adalah masa lalu”.
Michael Gorbachev, mantan Presiden Uni Soviet (kini Rusia) pernah berkata, “bila anda senang berkisah tentang kehebatan anda di masa lalu, itu pertanda hari ini anda tidak melakukan prestasi apapun”. Ah, jangan-jangan anda atau saya sendiri!
Penikmat masa lalu ada beberapa macam. Ada yang membanggakan masa lalu dan tidak bisa menikmati hari ini. Tipe seperti ini banyak kita jumpai di mana-mana. Bila dia memasuki masa SMU, mereka bernostalgia tentang masa SMP. Ketika memasuki masa kuliah, ia suka berkisah indahnya masa SMU. Ketika mulai berkarir, ia terkenang-kenang masa kuliah yang penuh sukacita. Ia tak akan mencapai bahagia di masa kini. Pendek kata ia merasa, bahagia adalah masa lalu.
Ada pula orang yang merasa masa lalunya menyedihkan. Ia terbelenggu oleh masa lalunya seperti gajah yang dirantai atau kutu anjing dalam kotak korek api sebagaimana uraian di atas. Yang masuk kategori ini merasa bahwa kesuksesan masa depan adalah mimpi belaka.
Ada pula yang berpikir bahwa dengan masa lalu buruk ia ingin mengubah nasib. Yang ini sudah lebih baik, setidaknya ia berusaha keras supaya masa bahagianya bisa diraih. Kelemahannya, ia tidak dapat menikmati kehidupan yang sekarang dijalaninya, karena bagi mereka, kebahagiaan adanya di masa depan, bukan di saat ini.
Yang paling baik adalah apabila kita berpikir bahwa apapun yang terjadi di masa lalu, hendaknya membuat hari ini dan hari depan lebih baik. Keharusan kita adalah berusaha melakukan lebih baik setiap saat dan mensyukuri yang didapat hari ini. ***
0 Comments:
Posting Komentar