Pada suatu waktu, Seth Godin, seorang pakar marketing kelas dunia, berkendara melewati daerah pinggiran Perancis bersama keluarganya. Tatkala melewati padang rumput yang luas, mereka dibuat terpukau oleh ratusan sapi yang sedang merumput. Sejauh beberapa kilometer , mereka memandang takjub pada pemandangan indah yang baru mereka temui. Ratusan sapi yang gemuk dan sehat sedang menikmati rumput hijau yang segar.
Namun setelah 20 menit, keluarga
Godin mulai bosan dan menganggap pemandangan itu sebagai hal biasa. Apa yang
semula mengagumkan dan indah , tampak menjadi pemandangan biasa setelah
beberapa waktu. Lantas terbersit ide dalam pikiran Godin. Seandainya dalam
kerumunan sapi tersebut terdapat sapi yang berwarna ungu, pasti akan menjadi
sesuatu yang luar biasa dan menjadi sangat menarik bagi Godin dan keluarganya.
Sebagai pakar marketing, Godin langsung
mendapat inspirasi untuk melahirkan konsep sapi ungu (purple cow) sebagai strategi marketing di tengah persaingan bisnis
yang semakin hari semakin ketat. Ia
berpendapat, produk yang menakjubkan bisa berubah menjadi sesuatu yang biasa
saja dalam waktu singkat. Maka di saat itulah pemenang persaingan adalah mereka
yang dapat menyajikan produk yang unik, berbeda dan menarik perhatian.
Sebagaimana pernah saya tulis dalam rubrik
ini, ada tiga cara menjadi pemenang dalam persaingan bisnis. Pertama, menjadi
pelopor. Umpamanya adalah Aqua sebagai pelopor air minum dalam kemasan, atau
teh botol Sosro sebagai pelopor teh dalam botol. Mereka adalah pemenang di area
bisnisnya karena menjadi pelopor.
Jika menjadi pelopor tidak bisa, ada
cara kedua, yaitu menjadi yang terbaik. Menjadi terbaik itu tidak mudah, karena
setiap kali kita menjadi terbaik, maka besok pagi mungkin saja sudah muncul
produk baru yang lebih baik. Pebisnis Jepang menggunakan konsep Kaizen, yakni
perbaikan tiada henti. Mereka berpandangan, setiap kali mampu meningkatkan
kinerja, maka akan ditemukan cara baru yang lebih bagus lagi. Tak heran jika produk-produk Jepang baik itu elektronik maupun otomotif
bisa menguasai pasar dunia, meskipun negara tersebut bukan pelopor dan penemu
teknologi.
Apabila menjadi terbaik juga tidak
mampu, maka ada jurus ketiga yaitu menjadi berbeda. Perbedaan yang unik, yang membuat konsumen
takjub, akan membuat produk bisa bersaing di pasaran. Kira-kira itulah yang
disarankan Godin dalam strategi bersaing.
Dalam beberapa bulan ini,
diskusi tentang tantangan persaingan dalam pasar tunggal ASEAN demikian
hangat. Beberapa pelaku bisnis menyatakan produk peternakan unggas, akan
terancam oleh produk-produk luar negeri antara lain dari Thailand yang
siap-siap masuk ke indonesia di akhir tahun 2015. Negara Gajah Putih itu sudah terbiasa
masuk ke pasar Eropa dan negara lainnya. Jadi mereka terbiasa menguasai pasar
internasional. Peternakan di Thailand semuanya menggunakan teknologi paling
modern, efisien dalam tenaga kerja dan dukungan pemerintah berupa dukungan
infrastruktur, insentif pajak, bunga bank rendah dan sebagainya.
Apakah tidak ada peluang bagi
Indonesia untuk menang dalam persaingan ASEAN? Jika ditanyakan pada Godin,
kemungkinan jawabannya adalah masih. Yaitu dengan menjalankan strategi sapi
ungu. Karena semua negara bersaing di
level efisiensi produksi dan Indonesia kemungkinan kalah di area ini, maka
Indonesia dapat menciptakan produk berbeda yang unik dan menarik. Itu
sesungguhnya sudah ada dan tinggal dikembangkan. Misalnya produk ayam organik,
telur omega tiga, telur rendah kolesterol dan sebagainya. Ini keunikan dari
sisi content . Perlu dikembangkan
pula keunikan dari sisi konteks. Misalnya produk peternakan hasil karya remaja
pesantren, siswa-siswa SMK, pemuda di daerah terpencil peternakan ramah lingkungan yang sekaligus
sebagai tujuan wisata, dan kreativitas lain yang terus berkembang.
Anda punya ide lain?